Selasa, 28 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 5)

Sang detektif wanita yang menangani kasus Enya berdiri di ambang pintu.
“Selamat malam” ia menyapa kami dengan tatapan ramahnya. Lalu ia melangkah memperkenalkan dirinya pada Enya. “Hai Enya, saya Nancy. Bagaimana keadaan kamu?”

“Nancy ini detektif yang menangani kasus kamu, Enya. Dia yang akan menemukan orang yang menembak kamu” aku menjelaskan.

“Hai” Enya membalas sapaan detektif itu dengan senyum.
“Boleh pinjam mamamu sebentar? Saya perlu bicara dengan Anda nyonya Evan,” ujarnya tegas tapi ramah.

Aku mengangguk dan mengikuti Nancy keluar ruangan. 
Di koridor kami berbicara. Wajah Nancy nampak serius tapi tenang. Ia mengeluarkan sebuah foto dari amplop kuning di tangannya. Foto seorang wanita berambut pirang.

“Anda kenal orang ini?” tanyanya.
Keningku berkerut mencoba mengingat ingat. Rasanya aku pernah melihat wajah dalam foto itu. Tapi dimana, kapan dan dalam rangka apa, aku tak ingat sama sekali.

“Dia teman kerja suami Anda di kantor” Nancy berusaha menyegarkan ingatanku.
“Sofie?” desisku ragu.
“Ya. Sofie Blacksmith lengkapnya. Apakah dia pernah datang ke rumah anda?”

Aku menggeleng. Perlahan-lahan ingatanku terbuka, kembali menelusuri masa-masa beberapa tahun kebelakang. Saat itu nyeri arteritis belum terlalu mengusik tulang tulangku. Aku masih aktif, masih rajin menemani Evan ke acara-acara pesta dikantornya. Dan di acara acara pesta perusahaan itulah aku dikenalkan dengan Sofie. Waktu itu ia pegawai baru, menggantikan Ruby, seketaris Evan yang mengundurkan diri setelah menikah.

“Dia seketaris Evan” ujarku.
“Pertanyaan saya, apakah dia pernah datang ke rumah Anda?” ulang Nancy tegas.
“Tidak.”
“Dimana anda terakhir bertemu dengannya?”
“Tidak ingat pastinya. Yang jelas, di acara pesta perusahaan. Entah kapan. Evan mengenalkan dia sebagai seketaris barunya,”

Nancy menghela nafas.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa anda menanyakan soal Sofie pada saya?”
“Kami menemukan sebuah kuku palsu di halaman rumah Anda nyonya Evan”
“Kuku palsu?” aku semakin bingung.

Nancy meraih kedua belah tanganku.
“Anda tak menggunakan kuku palsu. Enya juga tak menggunakan kuku akrilik buatan. Di laboratorium kami melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa pemilik kuku palsu ini. Nama Sofie muncul dari data kepolisian. Kami menanyai beberapa rekan kantor suami Anda yang hadir di pesta semalam dan menurut keterangan mereka, Sofie meninggalkan pesta pada waktu yang bersamaan dengan suami Anda.”

Penjelasan Nancy sama sekali tak menjawab kebingunganku. Apa hubungannya semua ini dengan penembakan Enya? Apakah itu berarti Sofie menembak Enya dan Zenon? Kalau betul begitu, apa alasannya? Kenapa? Untuk apa? 

Sepertinya Nancy bisa membaca kebingunganku dari garis-garis kerutan yang muncul di keningku.
“Nyonya Evan, apakah hubungan anda dan suami anda selama ini baik baik saja?” tanyanya.
“Maksud anda?”
“Apakah suami Anda memiliki hubungan khusus dengan….wanita lain?”

Aku tersentak.
“Maksud anda…dengan…Sofie?” hatiku mulai berdetak kencang. Aliran darahku mengalir deras memikirkan kemungkinan Evan berselingkuh. Tidak. Tidak mungkin. Evan pekerja keras. Dia suami dan ayah yang baik. Ia berusaha keras memberikan kehidupan yang layak bagi kami, keluarganya. Banting tulang kerja dari pukul enam pagi sampai malam. Kadang bahkan lembur untuk meloby atasan, melicinkan karirnya. 

Evan muncul di hadapan kami berdua.
“Ira…” sapanya sembari melirik ke arah Nancy.
Nancy menyudahi interviunya. Diberikannya kartu namanya padaku.
“Jika anda ingat sesuatu yang bisa membantu saya, tolong hubungi saya” ia hanya melirik ke arah Evan. “Permisi.”

Nancy melangkah dengan sepatu hak tingginya meninggalkan koridor rumah sakit. Aku termangu menatap kartu namanya. Detektif Crime Scene Investigator Nancy Hawk. Begitu tertulis disana. 
“Ra? Ada apa? Ada informasi baru dari detektif itu?” tanya Evan memecah keheningan.

Perlahan, kepalaku menengadah menatap wajah Evan. Menatap matanya. Membayangkan kemungkinan yang disodorkan oleh detektif Nancy barusan. Perlahan bayangan Sofie muncul di sebelah wajah Evan. Mungkinkan suamiku berselingkuh dengan seketarisnya?
“Ra?” Evan seperti heran melihat caraku menatapnya.
“Masuklah, Enya dan Edo menunggu kamu di dalam” kuajak Evan masuk ke kamar rawat Enya.
***
Seminggu sudah berlalu. Kondisi Enya yang membaik seharusnya membuat bathinku tenang. Tapi nyatanya aku malah semakin gundah. Bukan cuma karena rasa penasaran pada siapa pelaku penembakan sadis itu , melainkan lebih pada Evan. Setiap kali menatap bayangan wajahku di cermin kamar mandi, yang kulihat adalah wajah Sofie. Seketaris Evan. Setiap kali menelan obat-obatan dari dokter, kubayangkan kekecewaan Evan memiliki istri yang ringkih dan penyakitan. Barangkali keadaanku tidak lagi bisa membahagiakannya seperti dulu. Barangkali keadaankulah yang membuatnya melirik perempuan lain. Perempuan yang masih muda, masih penuh semangat dan energi. Perempuan yang punya waktu ke salon, menata rambut dan merawat penampilannya seperti seketarisnya. Seketaris yang selalu nampak rapih, cekatan dan siap kapan saja dibutuhkan oleh Evan.

Dan kalau betul perselingkuhan itu ada, kalau analisa detektif Nancy benar, maka Sofie-lah yang telah menyakiti Enya secara tidak sengaja. Membunuh Zenon untuk mencoba membunuhku, lantaran rasa cemburu dan ingin memiliki Evan. Perselingkuhan itu telah membuatnya serakah dan tak cukup lagi memuaskan hatinya. Ia ingin merenggut Evan dariku, dari keluarganya. Ia ingin memiliki Evan untuk dirinya sendiri. Dan malam itu, sehabis meneguk beberapa minuman beralkohol di pesta, ia tak bisa menguasai perasaannya lagi. Ia mengikuti Evan kerumah, membidikkan pistolnya pada Zenon untuk membungkam anjing penjaga kami itu. Kemudian pengaruh alkohol itu juga yang mungkin membuatnya keliru membidik sasaran. Enya yang memang sangat mirip denganku jadi korban . Padahal yang sesungguhnya ingin dienyahkan oleh Sofie adalah diriku!

Ya Tuhan. Aku merasa bersalah. Kalau betul itu yang terjadi! Tapi yang seharusnya merasa sangat bersalah adalah Evan! Kalau betul perselingkuhan itu ada. Kalau betul…

“Ra, sudah siap?” tukas Evan dari belakang. Di mulutku masih ada sebatang sikat gigi.
Segera ku kumur sisa pasta gigi dari mulutku.
“Kamu ikut jemput Enya dari rumah sakit kan?” tanyanya memastikan.

Diluar dugaannya, aku menggeleng.
“Kamu dan Edo saja. Aku ngga enak badan”
Evan menatapku heran.
“Lebih baik aku dirumah, menyiapkan makan siang buat Enya. Enya pasti udah kangen sama soto ayam buatanku Van.” Dalihku.
“Oke. Kalau gitu aku dan Edo bisa berangkat sekarang.” Evan berlalu. 

Aku menatapnya.
Evan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatapku. Seperti berusaha membaca pikiranku. Mungkin ia juga nerasakan perubahan sikapku seminggu belakangan ini.  
“Kamu ngga apa-apa kan?” tanyanya.
Aku menggeleng.

“Sana pergi! Cepet jemput Enya” ujarku menutupi perasaanku yang sebenarnya. Evan meraih kepalaku, mengecup keningku. Seperti biasa sebelum meninggalkan rumah, ia tak pernah lupa mengecup keningku. Mengucapkan kata kata selamat berpisah “Take care,” begitu selalu pesannya sebelum meninggalkanku.

Tapi sekarang ciuman itu seperti ciuman Judas bagiku. Ciuman seorang pengkhianat. Dan hari ini, aku akan membuktikannya sendiri! Aku tak bisa sabar lagi menanti telepon dari oom Dewo. Aku tak mau lagi menunggu hasil penyelidikan detektif Nancy. Aku mau buktikan sendiri! Aku harus mengakhiri semua tanda tanya yang menyiksa bathinku ini. Aku ingin tau, siapa pelaku penembakan terhadap Enya! Dan yang lebih penting lagi, aku harus tau siapa sebenarnya suami yang selama ini kubanggakan itu…

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis