Senin, 06 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 2)

Desis lirihku mendadak sontak berubah jadi teriakan histeris. Kakiku ingin berlari tapi tak kuasa bergerak sama sekali. Hanya mataku yang terbelalak menatap ke atas tempat tidur, dimana Enya terbaring kaku. Sama sekali tak bergerak. Bahkan ketika kuguncang tubuhnya. Selimutnya tersingkap dan apa yang kulihat sungguh diluar dugaanku. Sungguh membuatku terpaku, tak kuasa berbuat apa-apa selain meneriakkan namanya dengan nelangsa.

“Enyaaaaa!!!!!”

***

“Apa yang terjadi?” tanya Evan yang baru tiba di ruang tunggu rumah sakit.

“Aku ngga tau! Mana aku tau! Darimana aja kamu? Kenapa baru muncul sekarang?” teriakku galau. Perasaan panik, takut, marah dan sedih berkecamuk dalam kepala dan dadaku yang terasa sesak. Saking galaunya, sampai sampai aku tak mampu lagi untuk berdiri.

“Apa maksud kamu? Aku langsung ngebut dari kantor setelah mendapat khabar dari kamu! Aku bukan superman yang bisa terbang!” Evan juga emosi. Dalam keadaan seperti ini, memang emosi menjadi lebih dominan ketimbang akal sehat. Tak ada lagi akal sehat saat kelenjar adrenalin memompakan hormon panik tersebut.

“Hu…hu..” suara tangisan Edo menyadarkan kami berdua. Sesaat: hening. Aku dan Evan bertatapan, menyadari luapan emosi yang tak seharusnya terjadi. Emosi tak akan menjelaskan keadaan Enya, ataupun menyelamatkan Enya. Kugenggam tangan Edo erat erat.

“Jangan nangis sayang…”

Edo menatap ayahnya.

“Papa jangan marah sama mama. Mama ngga salah. “ Pembelaannya melulihkan hati Evan. Evan pun meraih kepalaku dan menciumku. Lalu Edo.

“Dokter bilang apa?” tanyanya lembut.

“Dokter masih di dalam, belum ada yang keluar. Belum ada yang menjelaskan apa-apa padaku,” desisku lirih. Bergetar. Suasana pagi hari di kamar Enya kembali muncul dalam kelopak mataku. Enya terbaring di tempat tidur dengan darah membasahi seluruh selimut dan ranjangnya. Bahkan menetes hingga ke karpet kamarnya. Enya tak bergeming, tak bergerak menanggapi panggilanku. Bahkan saat kuguncang tubuhnya, matanya tak juga terbuka. Tak ada reaksi apa-apa.

“Dokter!” Evan terlonjak dari kursi seketika saat melihat seorang pria berpakaian serba putih keluar dari ruangan emergensi. Pria itu membuka kaus tangan plastik yang nampak ternoda, lalu menghapus keringat dari kepalanya yang masih terbungkus topi plastik warna kehijauan. Keningnya berkeringat. Seperti habis melakukan tugas berat yang melelahkan.

“Kenapa anak saya dok? Apa yang terjadi pada Enya?” teriakku panik.

“Tenang bu. Anak ibu selamat. Kami berhasil mengeluarkan peluru dari paha kirinya” ujar dokter.

Peluru? Peluru di kaki kiri Enya? Darimana datangnya peluru itu? Bagaimana caranya peluru bisa hinggap di kaki anakku? Dirumah kami sama sekali tidak ada pistol atau senapan. Aku tak bisa berkata kata. Sungguh tak masuk akal. Bibirku dan bibir Evan sama sama berseru serentak.

“Peluru?”

Dokter mengangguk “Sebaiknya ibu dan bapak melapor pada polisi agar mereka bisa menangani kasus ini”

“Polisi?”

***

Enya terbaring lemah. Di lengan kirinya ada jarum infus yang dihubungkan dengan tabung infus dengan sebuah kabel bening. Cairan putih kekuningan yang entah apa isinya, mengalir dari tabung kedalam tubuh putri sulungku. Wajahnya pucat. Di tangan yang lain ada infus serupa, dengan cairan warna merah.

“Enya kehilangan banyak darah, karena itu kami mentransfusikan darah untuknya” suster menjelaskan sebelum meninggalkan ruangan.

“Enya…” kubelai keningnya. Kulit Enya yang biasanya putih kemerahan kini nampak kuning pucat. Matanya sendu tak lagi berkejora seperti biasanya.

“Apa yang terjadi Sayang?” tanya Evan yang nampaknya telah lebih dulu berhasil mengatasi gejolak adrenalin dalam dirinya. Konon, pria memang lebih handal mengatasi kondisi panik dibandingkan dengan perempuan yang lebih menggunakan emosi daripada logika.

Susah payah Enya membuka bibirnya yang nampak kering.

Ada yang nembak Enya semalam pa…”

“Siapa? Kapan?” pekikku masih dihantui rasa panik dan shock.

“Ngga tau. Semalam Enya ke dapur, haus , mau ambil minum. Tau-tau kaki Enya terasa panas dan sakit. Dokter bilang Enya tertembak.” Jelas Enya.

“Jadi suara letusan semalam itu, suara tembakan?” celetuk Edo lugu.

“Apa? Suara apa Do? Suara apa?” tanyaku semakin bingung. Bagaimana mungkin, kedua anakku mengetahui apa yang terjadi semalam dirumah kami, sementara aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa?

“Suara letusan keras ma. Kaya suara balon meledak!” Edo menjelaskan.

Aku dan Evan hanya bertukar pandang. Bingung. Peluru di kaki Enya. Ledakan tembakan dirumahku semalam. Bagaimana mungkin aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa? Kenapa hanya Enya dan Edo yang mendengar kejadian itu? Rasa bersalah muncul diantara seribu tanda tanya di benakku. Sebagai orang tua seharusnya aku dan Evan melindungi anak anak kami. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kami berdua bukan cuma tak bisa melindungi mereka semalam, kami bahkan tidak tau apa yang terjadi di rumah kami !

***

Dua orang detektif berpakaian preman ditemani tiga anggota kepolisian berseragam lengkap menyusuri seluruh ruangan di lantai dua. Lokasi kejadian penembakan Enya semalam. Sejam sebelumnya mereka sibuk di lantai bawah, di dapur tepatnya. Menurut Enya, ia merasakan tembakan itu saat mengambil minuman di dapur. Dan menurut Enya lagi, ia tak sempat membangunkanku ke kamar lantaran rasa sakit dikakinya tak tertahankan. Di anak tangga, polisi dan detektif menemukan beberapa tetesan darah Enya.

“Aneh…” desisku perlahan.

“Apanya yang aneh?” tanya Evan.

“Pagi itu aku membereskan barang barang yang berserakan di sepanjang anak tangga. Tapi sama sekali tak kulihat noda darah…”

“Hal itu biasa terjadi nyonya Evan,” seorang detektif wanita nyeletuk “Anda pasti baru bangun tidur waktu itu kan?”


Kepalaku mengangguk. Detektif wanita itu nampak tenang, mengoleksi tetesan darah dengan kapas bertangkai khusus. Darah Enya, anakku. Bagi mereka darah itu tak lebih dari barang bukti. Darah sudah menjadi bagian dari hari hari mereka. Mungkin darah bagi para detektif ini tak ubahnya seperti butiran beras bagi ibu-ibu rumah tangga. Mereka nampak sudah begitu terbiasa. Tanpa rasa jijik, ngeri atau emosi lagi mengumpulkan bukti bukti dan menganalisa kejadian penembakan semalam di rumah kami.

“Tak ada tanda tanda penembakan di kamar anak Anda,” wanita berpakaian ketat yang cantik dan modis itu memulai penjelasannya. “Karena itu kami yakin, cerita anak Anda, Enya, benar”

Lalu iapun meneruskan hasil analisanya selama tiga jam di rumah kami. Begitu jelasnya sampai sampai aku bisa membayangkan apa yang terjadi semalam. Seperti membaca sebuah novel, atau menonton sebuah film saja.

Malam itu, Enya terjaga lantaran haus. Ia turun ke bawah, tepatnya ke dapur, untuk mengambil segelas air penghapus dahaga. Saat ia membelakangi jendela dapur, ia mendengar suara gonggongan Zenon, anjing herder kami yang setiap malam bertugas menjaga di sekeliling rumah. Mungkin suara gonggongan Zenon malam itu terasa aneh di telinga Enya. Seperti punya firasat, ia mendekat ke jendela untuk melihat apa yang terjadi pada Zenon. Zenon melolong seperti kesakitan. Namun saat Enya mendekat ke jendela, sebuah tembakan meledak mengenai pahanya. Enya kaget, dan tak menyadari kalau suara itu suara tembakan. Ia berbalik, dan saat itulah ia baru merasakan panas di kakinya yang disebabkan peluru dari tembakan itu. Enya berusaha naik ke atas, menuju ke kamarku untuk memberitahukan aku dan Evan. Tapi saat ia melangkah di tangga, ia semakin merasakan sakit di kakinya yang tertembak. Enya tak mampu meneruskan langkahnya ke kamar kami yang terletak di ujung lantai dua, kira-kira sepuluh meter dari tangga. Karena itu ia langsung ke kamarnya, berebah lantaran tak mampu lagi menahan rasa sakit di kakinya. Kemudian jatuh pingsan.

“Trauma, shock dan juga kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak.” Wanita detektif itu menjelaskan kondisi Enya yang membuatnya pingsan dan tak sempat berteriak minta pertolongan.

((NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis