Kamis, 24 September 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 8 - TAMAT)

86 purnama telah kulalui di negeri empat musim ini. 86 purnama atau kurang lebih 7 tahun sudah kuabdikan hidupku sepenuh jiwa ragaku pada Evan, pada keluargaku, anak - anakku tercinta. Sebagian dari hari - hari pengabdianku itu ternyata hampa. Semua cuma sandiwara. Evan telah ternoda, telah jatuh dalam pelukan perempuan lain. Cintaku, cinta kami, telah terlanjur ternoda.


Apakah ini semua salahku? Salahkah aku kalau aku tak bisa lagi menjaga penampilanku seperti dulu? Salahkah aku yang mengabdikan semua waktuku untuk mengurus keluargaku? Salahkah aku kalau penyakit arteritis merayapi dan menggerogoti kesehatanku? Salahkah aku Tuhan, kalau aku bukan lagi Ira yang dulu membuat Evan tergila - gila? Ira yang dulu membuat Evan rela menyeberangi samudra dan meninggalkan tanah airnya untuk hidup bersamaku. Salahkah aku yang karena cinta rela meninggalkan tanah airku?


Seandainya kami tetap tinggal di tanah Dewata, tentu semua ini tak akan terjadi. Aku pasti punya waktu merawat diri, karena ada Ni Luh dan Anwar yang membantuku. Aku pasti tidak kena arteritis karena cuaca di Bali tak sekejam musim dingin di Kanada. Dan yang terpenting, seandainya kami tetap tinggal di Bali, tentu Evan tak akan pernah bertemu dengan Sofie. Evan tak akan meninggalkanku 12 jam sehari untuk bekerja. Aku selalu menemaninya saat kami berdua menjalankan usaha jual beli villa di Bali dulu. Kami selalu bersama. Seandainya kami tidak meninggalkan tanah leluhurku, Enya tak perlu mengalami kejadian penembakan yang traumatis ini. Seandainya… seandainya.


Tapi hidup bukan untuk berandai - andai. Hidup adalah realita, kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani. Hidup adalah masa depan dan tak bisa berhenti di satu titik. Hidup bukan untuk duduk berandai - andai. Hidup juga bukan melulu harus diisi dengan penyesalan, melainkan harus diisi dengan harapan dan semangat. Ketabahan. Ketegaran. Kebesaran hati. Optimisme. Hanya saja, saat ini aku harus jujur. Tak ada lagi kata - kata bijak tersisa dalam diriku. Aku bukan malaikat. Kata - kata bijak itu hanya ada dalam buku - buku yang pernah kubaca. Aku cuma manusia biasa yang saat ini merasakan kemarahan, dan rasa sakit yang luar biasa. Saat ini aku meradang. Dan semua merasakannya. Bukan cuma Evan, tapi juga Edo dan Enya.


Mereka tentu bertanya - tanya, mengapa papanya tak lagi tidur sekamar dengan mamanya. Mengapa papanya kini berhenti bekerja dan harus menggantikan mamanya mengurus mereka setiap hari. Mengapa mama sekarang hanya mengurung diri di kamar sepanjang hari. Sakitkah mama? Memburukkan penyakit arteritis mama?


“Telepon dari Indonesia Ra,” Evan masuk membawakan telepon wireless ke kamar. Kuterima tanpa suara.

“Hallo”

“Ira, Oom Dewo disini.”

“Oom…” aku langsung terisak. Merasa tak lagi sendiri. Merasa punya tempat mencurahkan isi hati dan kalau bisa meminta sedikit resep ketabahan.


“Oom sudah dengar semuanya. Made sudah kembali ke tanah air. Sekarang mendekam di penjara Canggu menunggu hukuman.” Ujar Oom Dewo “Ia minta oom menyampaikan terimakasihnya padamu. Kamu yang telah mengatur kepulangannya ke tanah air dan supaya dia diadili di Indonesia katanya. Betul?”

“Iya Oom,” isakku lirih.

“Made menitipkan pesan pada Oom…pesan penting”

“Apa katanya Oom?”

“Dia minta maaf. Dia bilang, kalau kamu memaafkan dia, kamu dan suamimu harus hadir di acara ngaben”

“Ngaben?”

“Made gantung diri di sel tahanannya semalam, Ra”

“Ya Tuhan…”

***


Barisan pria dan wanita berpakaian serba hitam melangkah bagai tentara menuju tepi laut di daerah Tanjung Benoa. Sinar mentari di Bali jauh lebih galak ketimbang musim terpanas sekalipun di Kanada. Menjilat seluruh permukaan kulitku sampai gosong meski berlapis - lapis krim penahan sengatan matahari telah kuoleskan di sekujur tubuhku. Arak - arakan menandai upacara ngaben yang dilakukan sekaligus untuk beberapa orang yang meninggal, termasuk Made. Tak satupun orang yang kukenal. Aku memang tidak terlalu akrab bahkan tidak tahu menahu sama sekali mengenai keluarga Made. Hubungan kami hanya sebatas teman kuliah tak pernah lebih dari itu. Aku bahkan tak pernah tahu dari Banjar mana ia berasal.


Edo dan Enya menggenggam erat tanganku. Yang satu di kanan yang satu di kiri. Sementara Evan melangkah dibelakangku. Iapun, seperti aku dan anak anakku, mengenakan pakaian adat Bali untuk menghormati upacara ngaben ini. Keringatnya bercucuran. Deras. Tangan Enya dan Edo juga basah karena kepanasan.


“Edo haus ma..” tukas Edo.

“Kaki Enya lecet nih ma” Enya menunjukkan kakinya yang lecet gara - gara tak biasa menggunakan sandal. Maklum, di Kanada mereka selalu mengenakan kaus kaki dan sepatu. Bahkan di musim panas sekalipun. Kulit kaki mereka lembut seperti kulit bayi dan sangat sensitif kalau harus bergesekan dengan kulit atau plastik. Terlalu terbiasa dimanjakan dengan buntalan kaus kaki katun yang lembut, agaknya.


“Kita berhenti sebentar. Ayo,” kuajak mereka ke sebuah warung. Evan hanya mengikuti. Tak banyak bicara. Bahkan waktu aku memutuskan menghadiri pemakaman Madepun, sebetulnya aku tak mengajak Evan. Aku hanya memberitahukan rencana kepergianku dengan anak - anak. Tahu - tahu Evan ikut pergi, diam - diam membeli tiket pesawat sendiri. Tahu - tahu dia mendampingi kami disepanjang perjalanan. Tinggal di hotel yang sama dengan kami pula, meski berbeda kamar. Entah tahu darimana.


“Minum?” tanyaku agak kasihan melihatnya kepanasan.

Evan menggeleng “Anak anak saja dulu kamu urus”

Enya dan Edo menyeruput tandas sebotol teh dingin dalam sekejap. Botol keduapun dipesan. Sembari menyaksikan arak - arakan upacara ngaben yang seperti tak ada habis - habisanya itu, kami melepas lelah di warung. Kutempelkan tensoplas di kaki Enya yang lecet.

“Kalau Enya ngga kuat jalan lagi, tunggu saja disini sama papa, ya?” ujarku.

Enya mengangguk.

“Yang meninggal itu siapa sih ma?” tanyanya penasaran.


Aku terdiam. Haruskah kukatakan yang sebenarnya pada Enya? Bahwa kami jauh - jauh kemari untuk menghadiri pemakaman orang yang telah menembak kakinya? Haruskah kujelaskan pada Enya, rasa terimakasihku pada Made yang telah membongkar perselingkuhan ayahnya dengan seketaris itu? Haruskah mereka, anak - anakku, tau apa yang sebenarnya terjadi antara aku, ayah mereka dan seketarisnya? Haruskah mereka belajar mengenai kebohongan dan pengkhianatan cinta di usia yang masih begitu belia? Dan yang paling pelik lagi, haruskah mereka kehilangan kebanggaan terhadap ayah mereka?


Kebencianku pada Evan tak bisa kulukiskan dengan kata - kata. Semua wanita pasti bisa membayangkan, sakitnya di bohongi. Semua wanita, terutama yang pernah mengalami kejadian yang sama, pasti maklum kalau aku menuntut cerai dan tak bisa memaafkan pengkhianatan suamiku. Semua wanita pasti punya harapan yang sama mengenai cinta. Bukan cuma wanita, tapi juga kaum adam, aku yakin tak ada manusia yang rela dikhianati. Tak ada manusia yang bisa memaafkan dengan hati lapang. Dan kalau semua orang mau jujur, seringkali memaafkan bukanlah melupakan. Kata - kata maaf hanya terucap di bibir, tapi tak mampu menghapus luka bathin yang sudah terlanjur terukir. Sampai sekarang belum ada obat dokter yang bisa menghapus luka bathin manusia. Sebab kami adalah manusia bukan malaikat.


Turtle! Turtle! “ teriak Edo sembari lari kearah laut.

Edo! Hati hati!” teriakku.

Tapi Edo tak lagi menghiraukan teriakanku. Ia terus berlari. Enya dengan terpincang - pincang juga ikut lari menyusul adiknya.

“Enya mau liat kura - kura juga ma…” ujarnya sebelum melesat.


Keindahan alam pulau dewata yang masih serba natural memang unik dan memukau terutama buat anak - anakku. Keaneka ragaman satwa liar yang masih berkeliaran dimana - mana membuat mereka antusias. Sebuah kemewahan tersendiri buat mereka. Sesuatu yang tidak bisa ditukar atau dibandingkan dengan uang. Bahkan kota moderen, kota mercusuar seperti Negara barat tempat mereka tinggalpun tak mampu bersaing dengan alam nusantara. Di Kanada kami memiliki semuanya tapi tidak bisa membeli panorama, adat istiadat, alam raya. Sungguh melegakan bahwa ternyata, di dunia ini masih ada sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang.


Telepon genggam Evan berdering. Aku melengos tak mau perduli. Evan mengangkatnya dan bicara. Aku tak berniat mengetahui isi pembicaraannya. Paling - paling urusan kantor atau dengan keluarganya. Masa bodoh. Aku tak mau tau lagi. Dimataku Evan sudah tidak eksis. Bahkan diam - diam aku berharap, kata kata perceraian itu akan keluar dari mulut Evan. Bukan dariku. Aku tak mau mengingkari sumpah pernikahanku untuk hidup setia sampai akhir hayatku. Maka lebih baik aku menunggu. Menunggu sampai Evan sendiri yang menyatakannya. Toh dia sudah mengkhianati sumpah pernikahan itu dengan perselingkuhannya.


Evan mengakhiri pembicaraannya.

“Mereka sudah selesai dan cargo akan dikirim besok” ujarnya lirih.

Cargo? Cargo apa?” ssahutku acuh tak acuh.

“Semua barang barang kita besok akan dikirim kemari”


Seketika tenggorokanku tercekat. Apa maksudnya? Semua barang - barang kami? Dikirim? Dikirim kemana? Ke Indonesia? Untuk pertama kali aku menatap wajah dan mata Evan lagi. Sekian lama aku tak berani melakukannya karena takut bayangan Sofie muncul lagi setiap kali menatap Evan.


Evan mendekat, berlutut di kedua lututku. Menatapku tajam seolah tak mau aku melepaskan tatapanku padanya.

“Berikanlah saya kesempatan, untuk memulai semuanya lagi, dari nol. Disini. Seperti dulu lagi. Seperti ketika kita pertama kali bertemu. Disini, Ira, di tanah leluhur kamu. Di tanah tempat kita mengucapkan sumpah perkawinan kita” ujarnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus menjawab apa. Jujur, ada rasa kasihan mengalir dalam hatiku saat melihat Evan bersimpuh dihadapanku. Saat mendengar suaranya yang gemetar seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya. Tapi apa rasa kasihan saja cukup untuk membina sebuah rumah tangga? Apa rasa kasihan itu cukup untuk menjadi fondasi sepasang suami istri? Bukankah cinta yang terpenting? Cinta adalah segalanya yang mendasari hubungan dua sejoli, dua manusia. Bukannya rasa kasihan.


“Kalau kamu kasihan pada saya…artinya cinta itu masih ada” kata Evan seperti bisa membaca pikiranku. “Kasihanilah saya. Cintailah saya lagi…”

Tatapan mata kami melekat bagai medan magnet utara selatan. Begitu kuatnya sampai – sampai aku tak bisa melepaskannya lagi. Kekuatan yang telah lama tak lagi pernah kurasakkan. Kekuatan yang menyeretku kembali ke masa lalu kami. Disini. Ya disini, di tanah dewata ini. Ketika pertama kali kami bertemu muka, setelah sekian purnama bertukar sapa lewat tulisan, surat dan email. Bertukar suara lewat sambungan telepon jarak jauh. Dan akhirnya Evan datang, bukan cuma datang menjemput, tapi memutuskan untuk menetap di sini. Bersamaku. Meninggalkan keluarganya, pekerjaannya, tanpa pertimbangan logis.


Saat itu hanya cinta yang dirasakannya. Cinta yang ia yakini memberi kekuatan dan akan membukakan semua jalan bagi kami. Cinta juga yang kemudian membuatku memutuskan meninggalkan tanah air. Supaya adil, begitu pertimbanganku. Supaya Evan bisa berbagi kebahagiaan dan dekat dengan keluarganya. Supaya anak - anak bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Negara maju. Aku ingin membalas cinta Evan dengan merelakan diri diboyong ke tanah airnya.


Cinta telah menyatukan kami. Membukakan jalan, tapi sekaligus juga telah memisahkan kami. Mengajari kami akan arti kebahagiaan dan pengkhianatan. Membukakan mata kami bahwa semuanya tak selalu indah dan mulus dengan mengatas namakan cinta.


“Cinta adalah pengorbanan… Cinta adalah kesadaran. Tapi yang lebih penting lagi, Cinta adalah keabadian….”

Kata - kata itulah yang diucapkan oom Dewo di hari pernikahan kami 12 tahun yang lalu. Kata - kata yang dulu sekedar kata mutiara dari orang bijak, kini telah kulakoni sendiri dalam kehidupanku. Pengorbananku, kesadaran Evan. Keabadian cinta…mungkinkah?

Enya dan Edo kembali sembari berteriak - teriak gegap gempita penuh semangat. Di tangan Edo ada seekor kura - kura laut kecoklatan yang melambai lambaikan kakinya diudara.

“Mama! Mama! Liat nih, ma!” teriak Edo.

“Edo nangkep kura - kura ma !” pekik Enya tak kalah keras.


Kutatap wajah dua permata hatiku itu. Buah cinta kasihku dan Evan. Cinta adalah keabadian…dan keabadian itu telah terwujud dalam diri dua anak manusia yang lahir dari cinta kami. Edo dan Enya.


Kupeluk mereka erat erat. Mungkin mereka bingung dan kaget dengan pelukanku. Air mataku mengalir deras. Tak bisa kuhentikan. Seperti hujan deras yang dituangkan Sang Maha Kuasa untuk memadamkan bara kemarahan dalam hatiku. Mendinginkan bekas luka di bathin. Air mata itu begitu deras, begitu dingin bagai embun pagi. Dan tiba – tiba, sekonyong-konyong, terik matahari di Tanjung Benoa tak lagi kurasakan membakar kulitku.


Cinta itu masih ada, dalam diriku, dalam diri Edo dan Enya bahkan dalam diri Evan. Kalau cinta sudah tak ada lagi, tidak mungkin kami sekeluarga berada disini. Kalau cinta sudah pergi, tidak mungkin Evan berlutut memohon maaf dan membuat keputusan nekad untuk memboyong kami sekeluarga kembali ke tanah airku. Kalau bukan karena cinta tidak mungkin 86 purnama berhasil kulalui di negeri empat musim yang bukan tanah kelahiranku itu. Dan cinta kami telah melalui ujian yang begitu dashyat. Menorehkan pelajaran berharga sekaligus menyakitkan. Tapi bukankah hidup adalah sebuah universitas, dimana kita, manusia, tak akan pernah berhenti belajar dan belajar? Belajar untuk memperbaiki diri. Belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Belajar untuk tidak terjebak pada situasi yang menyakitkan. Bukankah cara belajar yang terbaik adalah belajar dari kesalahan? Dari pengalaman?


Kalau bukan karena cinta tidak mungkin ada Edo dan Enya.

“Kamu benar, Cinta itu masih ada Van…” desisku.

Air mata Evan menetes. Serta merta dipeluknya kami, aku, Enya dan Edo. Tangan Evan yang kekar dan panjang melingkari kami bertiga. Menyatukan kami dan mengajari aku akan kebenaran yang selama ini hanya tertulis dalam buku orang orang bijak : Cinta akan membukakan jalan bagi orang orang yang setia dan percaya pada kebenarannya.


Air mataku terus merembes, menetes ke rambut Edo. Edo menengadah heran.

“Mama kok nangis? Mama takut sama kura - kura ya?” tanyanya lugu.

Aku tertawa, dengan air mata yang masih mengalir. Perlahan sinar terik mentari mengeringkan aliran air mata itu. Kesejukannya masih tersimpan di dalam aliran darahku, menjalar keseluruh tubuhku. Kutengadahkan wajahku ke langit biru yang memayungi pulau dewata, tanah leluhurku.


Bali, aku kembali padamu dan engkau telah mengembalikan cinta yang telah lama membeku. Engkau Yang Maha Kuasa, terimakasih kuhaturkan. Made, kudoakan kepergianmu dan kumohonkan maaf untukmu pada Tuhan. Evan, kuserahkan diriku padamu untuk yang kedua kali.

“Saya janji, saya ngga akan…”

“Shhh…” ku putus kalimat Evan. “Jangan pernah berjanji lagi Van. Karena sekarang kita tahu, manusia tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Kita tidak bisa menjamin janji kita Van. Kita hanya bisa menjalani kehidupan yang diberikan oleh Nya dan belajar dari kesalahan kita sebelumnya…”


Kututup lembaran hari kemarin dan kumulai lembaran baruku disini, hari ini. Setelah kulalui 86 purnama bersama dia yang kucintai di negeri 4 musim. Setelah kuyakini hanya ada 1 cinta diantara kami. Dulu, sekarang dan harapanku, selamanya. Di sini, di bawah terik mentari Tanjung Benoa Bali, Evan berjanji untuk tak pernah lagi mengucapkan janji.


Orangeville, Canada 31 Juny 2009.

TAMAT ataukah ADA YANG TERPANGGIL UNTUK MELANJUTKAN?

Senin, 10 Agustus 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 7)

“Semalam. Tante polisi itu nelepon papa. Namanya Made. Ya kan Pa?” Enya berusaha memastikan pada Evan.

“Ma…Made?”
Evan mengangguk. “Made, teman kuliah kamu dari Denpasar itu…”
“Hah?”

Teka teki ini bukannya makin jelas tapi justru semakin tak jelas juntrungannya. Made? Teman kuliahku? Di Kanada? Setahuku dia ada di Indonesia, bekerja disebuah kantor arsitek di Denpasar. Sudah sekian lama aku tak berhubungan langsung lagi dengannya. Kami hanya bertukar email sesekali. Mungkin hanya sebulan sekali. Dalam emailnyapun ia tak banyak bercerita. Sekedar silaturahmi menjaga hubungan baik saja, karena aku menitipkan rumah dan tanahku yang masih tersisa di Bali padanya. Untuk ditengoki dan dirawat. Hanya sebatas itu hubungan kami. 

“Dia kemari untuk menyelesaikan dendamnya pada saya… tapi Sofie menggagalkan usahanya malam itu”

Aku tak bisa lagi berpikir. Semua terlalu rancu dan tak masuk akal. Mulanya Sofie, dituduh sebagai pelaku. Semua jelas dan masuk akal. Kronologi dan motivasi pelakunya sudah jelas. Sofie berselingkuh , cemburu padaku, ingin memiliki Evan kemudian mencoba membunuhku. Dia salah sasaran karena mabuk dan mengenai Enya. Sekarang muncul nama baru, Made. Nama yang sangat kukenal. Ya Tuhan.

“Tolong…sambungkan saya dengan detektif Nancy” desisku lirih pada Evan.
“Saya bisa menjelaskan semuanya…” Evan menawarkan diri. Tapi aku menggeleng.
“Saya ingin bicara langsung sama detektif Nancy. Please…” pintaku tanpa menatap wajahnya. Kemarahanku belum sirna. Dan aku yakin, aku pasti butuh waktu lama untuk menyurutkan gejolak emosi itu dari dalam hatiku. Memadamkan bara api hati yang hangus. Menyingkirkan bayangan kemesraan Evan dan Sofie dari benakku. Sekalipun bukan Sofie yang mencelakakan Enya, bukan berarti aku akan memaafkannya begitu saja. 

Evan menyambungkan telepon dan menyerahkan gagang telepon padaku. Detektif Nancy siap di seberang sana menjawab semua pertanyaanku.
***

Jumat, tanggal 8 bulan 6 pukul 10 malam. Aku tertidur nyenyak setelah menidurkan Edo dan mengucapkan selamat malam pada Enya. Malam itu Enya sempat bertanya kapan Evan akan pulang. Enya kuatir, rencana mereka piknik dan memancing bersama Evan esok pagi akan batal kalau Evan pulang kemalaman. Aku menenangkan Enya. Memastikan kalau Evan sudah dalam perjalanan pulang , karena sepuluh menit lalu Evan baru menelponku.

Sebelum Evan pulang, aku jatuh tertidur. Seperti biasa, lima buah pil yang harus kutenggak setiap malam meninabobokanku dalam sekejap. Obat-obatan itu membantuku tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan gangguan rasa nyeri di persendian tulangku. Dokter bilang aku mengalami gejala arteritis dini alias pengeroposan tulang karena kurang mengkonsumsi Fosfor dan kalsium. Vitamin tak lagi cukup, obat harus diberikan. Tanpa obat, aku tak bisa tidur dan istirahat . Tampa tidur dan istirahat, kondisi tulangku akan semakin buruk.

Apa yang terjadi setelah aku terbang ke alam mimpi, kemudian diceritakan oleh detektif Nancy. Berdasarkan keterangan para saksi. Evan, Sofie dan beberapa kolega Evan yang hadir di acara pesta perusahaan Evan malam itu. Berdasarkan bukti - bukti yang berhasil dikumpulkan tim detektif dan di dukung hasil penelitian canggih di labolatorium kepolisian. 

Di acara pesta perusahaan Evan dan Sofie bertengkar. Sofie terlalu banyak minum, dan setengah mabuk ketika pertengkaran itu terjadi. Tanpa sadar ia mengungkap perselingkuhannya dengan Evan di hadapan tamu - tamu yang notabene adalah kolega kantor Evan. Evan bukan cuma malu tapi juga marah. Seketika itu juga ia menyadari kesalahannya dan memutuskan hubungannya dengan Sofie. Atau paling tidak begitulah kesaksian Evan pada polisi.

Evan pulang. Sofie masih penasaran. Reaksi alkohol dalam aliran darahnya membuatnya tak bisa berpikir sehat lagi. Serta merta ia menyusul Evan. Tak rela hubungannya berakhir dan masih berusaha mendesak Evan untuk menikahinya dan meninggalkan keluarganya. Sofie mengikuti Evan sampai kerumah. 

Sekitar lima belas menit setelah sampai ke rumah, Evan jatuh tertidur. Pulas. Lantaran iapun meneguk cukup banyak minuman keras dipesta. Evan mendengkur seperti biasa. Saat itulah Sofie tiba dirumah kami. Sofie terjatuh bukan hanya karena agak mabuk, tapi lebih karena tersandung jenasah Zenon, anjing keluarga kami, yang sudah terbaring ditanah. Darah segar masih menggenang dan mengalir keluar dari leher Zenon. Sofie shock melihat anjing itu sudah tertembak dan sedang menunggu nafas terakhirnya. Karena terjatuh, kuku palsu Sofie terlepas. Sofie berusaha meninggalkan rumah tetapi terlambat.

Seorang lelaki bertubuh tak seberapa besar yang wajahnya tak bisa dikenali Sofie, menangkapnya. Menodongkan pistol ke kepalanya. Sofie menangis minta ampun dan minta dilepaskan. Tapi lelaki itu kelihatannya tak punya niat untuk melepaskan Sofie. Menurut Sofie, lelaki itu berbicara dengan bahasa yang tidak dimengertinya. Bahasa Indonesia : “ Kamu harus mati juga seperti anjing itu!” 

Saat Sofie pasrah menunggu ajalnya, menerima nasib yang sama seperti Zenon, tiba - tiba lampu dari dapur menyala. Sofie dan lelaki itu sama sama tersentak. Momen singkat itu dimanfaatkan oleh Sofie untuk melarikan diri. Ia mendorong lelaki itu, pistol meletus tanpa terencana, pelurunya melesat menembus jendela dapur dan akhirnya bersarang di paha kiri Enya. 

“Pria itu panik. Sofie berhasil melarikan diri. Pria itu mendekat ke jendela untuk memastikan siapa korbannya. Pria itu lalu melarikan diri.”” Suara Nancy terus mengalir menceritakan kejadian yang sebenarnya di malam naas penuh teka - teki itu. “Pria itu merasa bersalah. Ia bersembunyi di kamar hotelnya selama beberapa hari dan akhirnya memutuskan menyerahkan diri ke polisi. Ia mengaku telah menembak Ira, wanita yang dicintainya. Ia tidak tau kalau sebetulnya yang terkena tembakan peluru nyasar itu adalah Enya, anak ibu”

Nancy menutup ceritanya.
“Si…siapa nama pria itu?” tanyaku getir.
“Made. Warga Negara Indonesia yang masuk ke Kanada dengan visa turis. Menurut pengakuannya, dia masih menyimpan cintanya pada anda. Dia tidak pernah berhenti mencintai Anda. Bertahun tahun ia hidup dalam penderitaan dan kemarahan. Kecemburuan melihat kebahagiaan ibu dan keluarga ibu. Lalu dihabiskannya semua tabungannya untuk menemui ibu dan mencoba mengakhiri hidup suami ibu. Made mengaku berniat membunuh Evan, suami ibu. Tapi tembakannya salah sasaran karena kehadiran Sofie”

“Tidak…tidak mungkin… tidak mungkin!” desisku perlahan dengan segala sisa kekuatan yang masih ada. Made, teman kuliahku dari Denpasar itu mencintaiku? Sejak kapan? Dia tak pernah bilang apa-apa. Tak juga pernah sekalipun menunjukkan sikap khusus padaku untuk menyiratkan isi hatinya. Bahkan dia hadir di resepsi pernikahanku dengan Evan. Dia menyalami aku, menyelamati Evan. Dia juga ikut jadi panitia seksi sibuk, mengurus gedung pesta. Saat kami sekeluarga pindah ke Kanada, Made juga ikut mengantar sampai ke bandara. Aku menitipkan uang untuk mengurus rumah dan tanah yang kami tinggalkan di Bali padanya. Tak pernah sebersitpun tersirat kebencian maupun kecemburuannya pada Evan. Tak sepatah katapun pernah kudengar dari bibirnya menyatakan cinta atau sekedar memberikan perhatian dan pujian mesra padaku. Tak pernah. Sama sekali tak pernah.

Setelah mengucapkan terimakasih pada Nancy, kuserahkan gagang telepon kembali pada Evan. Evan menutupnya.
“Sudah jelas semuanya sekarang kan? Made, temanmu itu pelakunya. Dia yang bersalah!” tukas Evan agak emosi. 

“Made memang bersalah dan pantas dihukum. Tapi dia juga pantas menerima ucapan terimakasihku”
“Apa? Terimakasih? Untuk apa? Berterimakasih pada orang yang mau membunuhku? Orang yang telah mencelakakan Enya?” teriak Evan heran campur marah.
“Saya harus berterimakasih, karena kedatangannya telah membebaskan saya dari kebohongan kamu Van…”

Evan terdiam. Ia tau kesalahannya. Mungkin juga ia sudah menyesalinya. Tapi apa artinya penyesalan kalau nasi sudah terlanjur menjadi bubur? Hanya Tuhan yang tahu, apa saja yang telah dilakukan oleh mereka berdua. Apapun yang sudah terjadi tak penting lagi bagiku. Kesucian rumah tanggaku telah ternoda. Pengabdianku tersia sia. Kepercayaanku pada Evan luluh lantah. Tak ada lagi yang tersisa dalam hati ini, dalam tubuh yang semakin ringkih digerogoti arteritis ini. Tak ada lagi yang tersisa di sini untukku… tiada lagi…



Selasa, 04 Agustus 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 6)

Matahari musim panas tak malu-malu menyinarkan teriknya ke tengah taman kota. Saat mencari parkir di pusat kota, baru kusdadari, betapa lamanya aku tak menyentuh daerah perkotaan ini. Daerah yang disebut “down town” , dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Jalanannya sempit dan kecil dengan arus lalu lintas yang padat. Mirip Jakarta dan kemacetannya. Mencari tempat parkirpun sulit dan kalaupun ada harus membayar cukup mahal. Lima belas dollar minimum untuk lima jam atau kira kira ekuivalen dengan sekitar seratus duapuluh ribu rupiah. 

Sejak gejala arteritis mulai menganggu kerangka tubuhku, aku jarang meluangkan waktu mendatangi pusat kota dimana kantor Evan berada. Aku tak mau menguras persediaan energiku untuk menyetir selama dua jam ke down town Toronto. Lebih dari semua itu, aku enggan mengotori paru-paruku dengan polusi kota besar ini. Bernafaspun rasanya sulit, dada terasa sesak terhimpit oleh bayangan gedung gedung pencakar langit di sekelilingku. Atau mungkin aku sulit bernafas karena pikiran-pikiran dan spekulasi yang memenuhi relung hatiku.

“Bu Evan,” sebuah suara menyapa.
Langkahku terhenti. Rupanya Sofie sudah duluan disana. 
“Eh…hai..” balasku sembari menatapnya. Sofie jauh lebih cantik daripada Sofie yang kukenal beberapa tahun lalu. Waktu telah membuatnya menjadi wanita yang lebih matang. Lebih pandai berdandan. 

“Maaf bu, saya buru buru. Mana titipan dari Pak Evan?” katanya memecah lamunanku.
“Titipan?”
“Ya, ibu bilang ibu ada titipan dari Pak Evan kan?” 
“Mh, sebetulnya tidak ada titipan dari Evan” kuakui kebohonganku. “Saya hanya ingin bicara sama kamu, empat mata. Boleh kan?”

Wajah Sofie berubah muram. Seperti punya firasat. Barangkali dia takut affairnya terungkap. Barangkali dia takut dilabrak istri pacarnya.
“Sofie, saya ingin tau sejauh mana hubunganmu dengan suami saya” 
“Ma…maksud ibu?”
“Saya yakin detektif Nancy sudah bicara sama kamu juga.” Sekuat tenaga aku berusaha menenangkan detak jantungku. Berhadapan dengan wanita yang jauh lebih muda, cantik dan berpotensi ini bukan hal yang gampang. Apalagi membayangkan hubungan intimnya dengan suamiku. Belum lagi kemungkinan dia melukai buah hatiku Enya. Kalau tidak dengan persiapan bathin yang mantap, mungkin sudah kulabrak dia sejak awal. Sudah kutampar pipinya dan kuludahi wajahnya yang sok tak berdosa itu. Kalau perlu ku potong tangannya yang diduga telah menembakkan peluru ke kaki Enya. 

Tapi akal sehatku masih kupelihara. Bahkan sejak tiga hari terakhir kukorbankan penyakit tulang keroposku dengan tidak mengkonsumsi obat dari dokter. Konon obat penahan sakit itu mengandung zat penenang yang bisa mempengaruhi cara berpikirku. Aku ingin menggunakan seluruh kemampuan akal sehatku, logikaku, dengan itikad baikku, untuk menghadapi Sofie. Menghadapi kenyataan sepahit apapun. Untuk mencari keadilan. Bagiku, bagi Enya, bagi keluargaku.

Sofie menunduk. Bahunya perlahan bergetar. Ia menangis. Tersedu.
“Maafkan saya…bu”

Aku tersentak. 
“Jadi semua dugaan detektif Nancy itu betul?”
“Ti..tidak bu. Saya bukan pembunuh. Sa…saya cuma perempuan lemah yang…mengagumi suami ibu. Saya akui, saya salah. Bapak juga sudah bicara sama saya. Semua sudah selesai. Semua sudah berakhir diatara kami bu…”
“Jadi….kamu dan suami saya…?”

Kata kata Sofie, permohonan maaf dan isak tangisnya yang megiba iba tak lagi terdengar ditelinagku. Hanya satu kata yang terus berdengung menyakiti kepalaku , memanasi ubun ubunku dan membakar hatiku. Evan telah mengkhianati cintaku, mengkhianati dan membohongiku, menodai kesucian mahligai rumah tangga kami dengan…perselingkuhan.

Semua yang dikatakan Nancy ternyata benar! Semua kekuatiran dan spekulasi analisa hatiku sekarang terbukti. Firasatku. Kenyataan yang sangat pahit. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri, selain mendengar perselingkuhan suaminya. Tidak ada fakta yang lebih menyayat hati seorang ibu tatkala mendengar ayah dari anak-anaknya telah mendustainya! Hati ini bukan cuma hancur berkeping-keping rasanya. Hati ini terasa terbakar. Meletus bagai gunung berapi. Lahar panas mengalir. Aku sungguh tak bisa lagi menahan diriku. Tak bisa lagi! Dihadapanku berdiri seorang perempuan yang telah memadu cinta dengan suamiku! Perempuan yang telah menodai kesucian pernikahanku! Yang telah merebut cinta suamiku, ayah dari anak-anakku!

Plak…!
“Aah..” Sofie menjerit kaget dan kesakitan sembari memegangi pipinya. Tak terasa, emosi menggerakan tanganku untuk menampar pipinya. Emosi dari alam bawah sadarku.

“Ma…maaf” desisku sambil lari meninggalkannya.
“Bu…! Ibu!!!” teriak Sofie memanggil.
Kututup telingaku dengan kedua belah tanganku. Cukup! Cukup! Aku tak mau mendengar apa—apa lagi. Aku tak mau mendengar suara perempuan yang telah merebut cinta suamiku itu lagi! Cukup!

“Bu…awas bu!!!!” teriakan Sofie menembus telapak tangan yang menutupi telingaku. Dan sebuah benturan super keras menghantamku dari samping kiri. Aku tergeletak. Semua gelap. 
***

Semua menjadi terang lagi, perlahan demi perlahan. Wajah wajah yang kukenal dan kucintai samar samar menjelma dihadapanku. Bertabrakan dengan sinar terang dari lampu sorot di ruangan yang terasa dingin ini. Semua serba putih dan biru muda. Selimut dibadanku biru muda. Dinding ruangan putih bersih. 

“Ira…” suara Evan membuat kepalaku menoleh ke kiri. Sakit terasa. Leherku tak bisa berputar lebih dari seratus delapanpuluh derajat. Ada sesuatu yang menyanggah leherku. Hanya mataku yang masih bisa bergulir, melirik ke arah Evan.

Kepala Evan tertunduk. Hanya matanya yang takut - takut menatap ke arahku. Kupejamkan mataku, berusaha menahan tangisku di depan Edo dan Enya. Enya masih menggunakan tongkat untuk membantunya berdiri dan berjalan. Kakinya masih dibalut gips dan perban. Edo duduk di ujung tepat tidurku, berdekatan dengan kakiku. 

“Ma…” suara Edo bagai malaikat kecil. Betapapun pedih dan sakit yang kurasakan lahir dan bathin, suara itu selalu mampu membuatku tersenyum. Paling tidak untuk melindungi perasaannya. Mereka tak berdosa. Mereka tidak bersalah. Mereka , anak anakku, bahkan tidak tau apa-apa sama sekali.

“I’m sorry…” desis Evan. Pelan. Sangat pelan. Seolah takut kedengaran oleh anak anaknya. Seolah takut dosanya ketahuan dan namanya tercemar di depan buah hatinya.

Aku tak bisa bereaksi. Hatiku nyeri, bibir dan lidahku kelu. Aku bahkan tak lagi berniat menatap Evan. Kalau perlu ingin rasanya kuusir pengkhianat itu keluar. Bertahun - tahun aku hidup dalam kebohongan. Bertahun - tahun kuanggap dia pahlawan kekeluarga. Kuserahkan jiwa dan ragaku untuknya. Kuabdikan seluruh hidupku padanya. Bahkan kutinggalkan tanah airku karena cinta. Karena sumpah perkawinan yang kami ikrarkan bersama - sama dua belas tahun lalu di sebuah pura kecil di Lovina. Sumpah yang sekarang telah dia nodai hanya karena tergoda seketaris muda dan cantik. Karena Sofie. Aku yakin Sofie telah menceritakan semua pada Evan. Begitu mudahnya. Begitu kecil arti sumpah pernikahan itu baginya ternyata. 

Pertemuanku dengan Sofie siang itu telah membuahkan kecelakaan cukup fatal pada diriku. 

Tapi aku tak perduli. Kecelakaan itu tidak seberapa dibandingkan sakit yang kurasakan akibat pengkhianatan Evan. Aku tak perduli pada apapun lagi selain pada anak - anakku. 

“Ma, orang yang nembak Zenon dan Enya udah ditangkep ma!” tukas Enya.
Aku terkejut. “Apa? Kapan? Siapa?”

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Selasa, 28 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 5)

Sang detektif wanita yang menangani kasus Enya berdiri di ambang pintu.
“Selamat malam” ia menyapa kami dengan tatapan ramahnya. Lalu ia melangkah memperkenalkan dirinya pada Enya. “Hai Enya, saya Nancy. Bagaimana keadaan kamu?”

“Nancy ini detektif yang menangani kasus kamu, Enya. Dia yang akan menemukan orang yang menembak kamu” aku menjelaskan.

“Hai” Enya membalas sapaan detektif itu dengan senyum.
“Boleh pinjam mamamu sebentar? Saya perlu bicara dengan Anda nyonya Evan,” ujarnya tegas tapi ramah.

Aku mengangguk dan mengikuti Nancy keluar ruangan. 
Di koridor kami berbicara. Wajah Nancy nampak serius tapi tenang. Ia mengeluarkan sebuah foto dari amplop kuning di tangannya. Foto seorang wanita berambut pirang.

“Anda kenal orang ini?” tanyanya.
Keningku berkerut mencoba mengingat ingat. Rasanya aku pernah melihat wajah dalam foto itu. Tapi dimana, kapan dan dalam rangka apa, aku tak ingat sama sekali.

“Dia teman kerja suami Anda di kantor” Nancy berusaha menyegarkan ingatanku.
“Sofie?” desisku ragu.
“Ya. Sofie Blacksmith lengkapnya. Apakah dia pernah datang ke rumah anda?”

Aku menggeleng. Perlahan-lahan ingatanku terbuka, kembali menelusuri masa-masa beberapa tahun kebelakang. Saat itu nyeri arteritis belum terlalu mengusik tulang tulangku. Aku masih aktif, masih rajin menemani Evan ke acara-acara pesta dikantornya. Dan di acara acara pesta perusahaan itulah aku dikenalkan dengan Sofie. Waktu itu ia pegawai baru, menggantikan Ruby, seketaris Evan yang mengundurkan diri setelah menikah.

“Dia seketaris Evan” ujarku.
“Pertanyaan saya, apakah dia pernah datang ke rumah Anda?” ulang Nancy tegas.
“Tidak.”
“Dimana anda terakhir bertemu dengannya?”
“Tidak ingat pastinya. Yang jelas, di acara pesta perusahaan. Entah kapan. Evan mengenalkan dia sebagai seketaris barunya,”

Nancy menghela nafas.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa anda menanyakan soal Sofie pada saya?”
“Kami menemukan sebuah kuku palsu di halaman rumah Anda nyonya Evan”
“Kuku palsu?” aku semakin bingung.

Nancy meraih kedua belah tanganku.
“Anda tak menggunakan kuku palsu. Enya juga tak menggunakan kuku akrilik buatan. Di laboratorium kami melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa pemilik kuku palsu ini. Nama Sofie muncul dari data kepolisian. Kami menanyai beberapa rekan kantor suami Anda yang hadir di pesta semalam dan menurut keterangan mereka, Sofie meninggalkan pesta pada waktu yang bersamaan dengan suami Anda.”

Penjelasan Nancy sama sekali tak menjawab kebingunganku. Apa hubungannya semua ini dengan penembakan Enya? Apakah itu berarti Sofie menembak Enya dan Zenon? Kalau betul begitu, apa alasannya? Kenapa? Untuk apa? 

Sepertinya Nancy bisa membaca kebingunganku dari garis-garis kerutan yang muncul di keningku.
“Nyonya Evan, apakah hubungan anda dan suami anda selama ini baik baik saja?” tanyanya.
“Maksud anda?”
“Apakah suami Anda memiliki hubungan khusus dengan….wanita lain?”

Aku tersentak.
“Maksud anda…dengan…Sofie?” hatiku mulai berdetak kencang. Aliran darahku mengalir deras memikirkan kemungkinan Evan berselingkuh. Tidak. Tidak mungkin. Evan pekerja keras. Dia suami dan ayah yang baik. Ia berusaha keras memberikan kehidupan yang layak bagi kami, keluarganya. Banting tulang kerja dari pukul enam pagi sampai malam. Kadang bahkan lembur untuk meloby atasan, melicinkan karirnya. 

Evan muncul di hadapan kami berdua.
“Ira…” sapanya sembari melirik ke arah Nancy.
Nancy menyudahi interviunya. Diberikannya kartu namanya padaku.
“Jika anda ingat sesuatu yang bisa membantu saya, tolong hubungi saya” ia hanya melirik ke arah Evan. “Permisi.”

Nancy melangkah dengan sepatu hak tingginya meninggalkan koridor rumah sakit. Aku termangu menatap kartu namanya. Detektif Crime Scene Investigator Nancy Hawk. Begitu tertulis disana. 
“Ra? Ada apa? Ada informasi baru dari detektif itu?” tanya Evan memecah keheningan.

Perlahan, kepalaku menengadah menatap wajah Evan. Menatap matanya. Membayangkan kemungkinan yang disodorkan oleh detektif Nancy barusan. Perlahan bayangan Sofie muncul di sebelah wajah Evan. Mungkinkan suamiku berselingkuh dengan seketarisnya?
“Ra?” Evan seperti heran melihat caraku menatapnya.
“Masuklah, Enya dan Edo menunggu kamu di dalam” kuajak Evan masuk ke kamar rawat Enya.
***
Seminggu sudah berlalu. Kondisi Enya yang membaik seharusnya membuat bathinku tenang. Tapi nyatanya aku malah semakin gundah. Bukan cuma karena rasa penasaran pada siapa pelaku penembakan sadis itu , melainkan lebih pada Evan. Setiap kali menatap bayangan wajahku di cermin kamar mandi, yang kulihat adalah wajah Sofie. Seketaris Evan. Setiap kali menelan obat-obatan dari dokter, kubayangkan kekecewaan Evan memiliki istri yang ringkih dan penyakitan. Barangkali keadaanku tidak lagi bisa membahagiakannya seperti dulu. Barangkali keadaankulah yang membuatnya melirik perempuan lain. Perempuan yang masih muda, masih penuh semangat dan energi. Perempuan yang punya waktu ke salon, menata rambut dan merawat penampilannya seperti seketarisnya. Seketaris yang selalu nampak rapih, cekatan dan siap kapan saja dibutuhkan oleh Evan.

Dan kalau betul perselingkuhan itu ada, kalau analisa detektif Nancy benar, maka Sofie-lah yang telah menyakiti Enya secara tidak sengaja. Membunuh Zenon untuk mencoba membunuhku, lantaran rasa cemburu dan ingin memiliki Evan. Perselingkuhan itu telah membuatnya serakah dan tak cukup lagi memuaskan hatinya. Ia ingin merenggut Evan dariku, dari keluarganya. Ia ingin memiliki Evan untuk dirinya sendiri. Dan malam itu, sehabis meneguk beberapa minuman beralkohol di pesta, ia tak bisa menguasai perasaannya lagi. Ia mengikuti Evan kerumah, membidikkan pistolnya pada Zenon untuk membungkam anjing penjaga kami itu. Kemudian pengaruh alkohol itu juga yang mungkin membuatnya keliru membidik sasaran. Enya yang memang sangat mirip denganku jadi korban . Padahal yang sesungguhnya ingin dienyahkan oleh Sofie adalah diriku!

Ya Tuhan. Aku merasa bersalah. Kalau betul itu yang terjadi! Tapi yang seharusnya merasa sangat bersalah adalah Evan! Kalau betul perselingkuhan itu ada. Kalau betul…

“Ra, sudah siap?” tukas Evan dari belakang. Di mulutku masih ada sebatang sikat gigi.
Segera ku kumur sisa pasta gigi dari mulutku.
“Kamu ikut jemput Enya dari rumah sakit kan?” tanyanya memastikan.

Diluar dugaannya, aku menggeleng.
“Kamu dan Edo saja. Aku ngga enak badan”
Evan menatapku heran.
“Lebih baik aku dirumah, menyiapkan makan siang buat Enya. Enya pasti udah kangen sama soto ayam buatanku Van.” Dalihku.
“Oke. Kalau gitu aku dan Edo bisa berangkat sekarang.” Evan berlalu. 

Aku menatapnya.
Evan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatapku. Seperti berusaha membaca pikiranku. Mungkin ia juga nerasakan perubahan sikapku seminggu belakangan ini.  
“Kamu ngga apa-apa kan?” tanyanya.
Aku menggeleng.

“Sana pergi! Cepet jemput Enya” ujarku menutupi perasaanku yang sebenarnya. Evan meraih kepalaku, mengecup keningku. Seperti biasa sebelum meninggalkan rumah, ia tak pernah lupa mengecup keningku. Mengucapkan kata kata selamat berpisah “Take care,” begitu selalu pesannya sebelum meninggalkanku.

Tapi sekarang ciuman itu seperti ciuman Judas bagiku. Ciuman seorang pengkhianat. Dan hari ini, aku akan membuktikannya sendiri! Aku tak bisa sabar lagi menanti telepon dari oom Dewo. Aku tak mau lagi menunggu hasil penyelidikan detektif Nancy. Aku mau buktikan sendiri! Aku harus mengakhiri semua tanda tanya yang menyiksa bathinku ini. Aku ingin tau, siapa pelaku penembakan terhadap Enya! Dan yang lebih penting lagi, aku harus tau siapa sebenarnya suami yang selama ini kubanggakan itu…

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Senin, 20 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 4)

“Musibah bisa terjadi dimana saja, kapan saja. Tak seorangpun bisa meramalkan apa yang akan terjadi di hari esok” suara datar Oom Dewo berusaha menenangkanku melalui telepon jarak jauh. Kalau Evan tau aku menelpon Oom Dewo, tentu dia tak akan setuju. Evan tidak percaya pada hal hal spirituil, paranormal dan mistik. Akupun bukan penganut aliran gaib apapun. Tapi tak dapat kusangkal, sebagai orang Timur, pengaruh kekuatan gaib, supernatural masih lekat dalam kehidupanku sehari hari. Setidaknya di masa laluku, ketika aku masih menetap di Indonesia. Suka tidak suka, mistik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Mau tidak mau topik mengenai mistik dan hal gaib setiap hari terdengar di lingkungan masyarakat Indonesia. Bahkan saat ini sudah banyak paranormal yang berani mengiklankan bahkan menjamin praktek mistik gaibnya secara terbuka.

 “Saya ingin tau, siapa pelakunya Oom” bisikku takut takut. Takut kedengaran oleh Evan.
 “Semua perlu waktu. Sabar. Tabah. Dan Tawakal. Jalani dulu semua itu Ra..” sahut Oom Dewo. “Tidak perlu minta tolong Oom. Nanti kamu juga bisa melihat sendiri. Akan diarahkan sama Yang Maha Kuasa untuk melihat kebenarannya.”
 “Tapi…”
 “Sekarang kamu urus dulu anak bungsumu. Suamimu. Yang gundah kan bukan cuma kamu saja Ra. Anak dan suamimu juga sedang gundah sekarang. Tenangkan mereka. Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Ya?” tukas Oom Dewo lagi.
 “Janji ya Oom? Oom tolong saya ya?” pintaku putus asa.
 “Apa pernah Oom mengecewakan kamu dan ingkar janji? Ingat Ra, semua cobaan pasti ada hikmahnya. Sekarang baru ujiannya yang kamu dapatkan. Besok-bseok baru akan kamu syukuri hikmahnya. Sabar…”pesan Oom Dewo sebelum menyudahi percakapan kami.

Oom Dewo adalah mantan tetanggaku. Dulu rumah keluargaku bersebelahan dengan rumah beliau di daerah Lovina. Tapi kemudian beliau pindah ke Denpasar. Oom Dewo diakui sebagai pemuka agama bagi umat Hindu Bali. Pekerjaannya sehari-hari hanya bersemedi, bertapa atau istilah moderennya adalah meditasi. Sering juga ia jadi tempat konsultasi, membantu masyarakat menyelesaikan masalah kehidupannya. Tempat tempat meditasinya selalu unik, konon sesuai dengan instruksi yang di dapatnya melalui mimpi atau istilah Oom Dewo adalah “ilham”. Berapa lama ia harus bermeditasipun tergantung petunjuk dari sinar Maha Suci, begitu Oom Dewo mengistilahkan “Tuhan Yang Maha Kuasa”. Kadang Oom Dewo menghabiskan berbulan-bulan di pura Besakih untuk bersemedi. Tidak makan dan tidak minum selama enam bulan. Bayangkan. Mustahil kata akal sehat dan logika. Aneh tapi nyata. Percaya tidak percaya akhirnya jadi percaya.

Setelah menikah dengan Evan, aku pindah dari Singaraja ke Denpasar. Seolah sudah takdir, akhirnya bertemu oom Dewo lagi. Beliau jugalah yang pernah menyatakan padaku bahwa jodohku akan datang dari seberang lautan. Bermata biru berambut emas. Dan pria itu, muncul, persis seperti ramalan Oom Dewo. Evan bermata biru kehijauan dan berambut pirang – kuning keemasan. Ia bukan orang Indonesia, ia datang dari seberang lautan, dari negeri empat musim di belahan utara Amerika. Percaya tidak percaya akhirnya toh jadi percaya sebab semua yang tidak nyata berubah jadi kenyataan. Terbukti. Bedanya, Oom Dewo tidak menggunakan peralatan canggih mengumpulkan bukti-bukti seperti kedua detektif di rumah kami siang tadi. Oom Dewo hanya bermeditasi minta petunjuk dari Sinar Maha Sucinya. Dan karenanya wajar kalau aku berharap Oom Dewo bisa lebih dulu mengungkap kasus ini.

Persis saat kuletakkan gagang telepon, Evan mendekatiku.
“Ngomong sama siapa barusan?” tanyanya.
“Mh..” antara ragu untuk jujur atau berbohong, aku akhirnya memilih diam.
Evan juga tak meneruskan pertanyaannya.
“Ayo makan dulu, Edo menunggu kamu di ruang makan. Aku harus kembali ke kantor”
“Apa? Balik ke kantor?”
“Ya. Sekarang jam satu, jam kantorku kan baru selesai pukul lima. Aku harus kembali ke kantor”
“Ta…tapi..”

Evan mengecup keningku lalu pergi. Tak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas. Disiplin kerja Evan dan dedikasinya pada perusahaan memang harus dibanggakan. Disiplin boleh saja, tapi hari ini aku lebih membutuhkan dia daripada pekerjaannya. Apa dia tak bisa melapor pada atasannya? Minta waktu untuk menemani anak istrinya dirumah setelah kejadian yang cukup traumatis ini? Apa tidak ada pengecualian? 
“Ma…ayo makan” ajak Edo.
Kuhapus air mataku. Dan dengan susah payah kutarik senyum di bibirku.
“Habis makan, papa bilang kita boleh besuk Enya ke rumah sakit.” Katanya lagi penuh harap.
“Iya sayang. Ayo…”

Aku beranjak menemani Edo ke ruang makan. Berdua kami berusaha menelan potongan pizza bertabur keju yang dipesan Evan melalui telepon untuk makan siang kami. Meski Evan tak punya waktu untuk menemaniku hari ini, paling tidak ia masih ingat untuk memesan makan siang untuk kami. Kata kata Oom Dewo terngiang ditelinagku : “Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Yang gundah kan bukan cuma kamu. Suami dan anakmu juga gundah”

Kubelai kepala Edo. Edo menengadah. Bibir dan sekeliling bibirnya penuh noda saus tomat dari pizza. Segera kubersihkan noda tomat merah itu. Noda itu mengingatkan aku pada darah di kamar Enya. Noda darah yang sampai sekarang masih menodai ranjang, selimut dan karpet di kamar ENya. Ya Tuhan, siapa yang akan membersiihkan semua itu? Mana sanggup aku membersihkan darah anakku dengan tanganku sendiri?
“Jangan cemas mikirin Enya lagi ya? Dokter bilang Enya udah ngga apa-apa”
Edo mengangguk. Sibuk dengan pizzanya.
***

Jam berdentang tujuh kali saat kakiku melangkah memasuki kamar rumah sakit di mana Enya masih harus dirawat selama beberapa hari. Besok menurut dokter, Enya sudah boleh dipindahkan ke kamar biasa. Tabung transfusi darah sudah dicabut dari lengannya. Wajahnyapun tak lagi sepucat tadi pagi. Sungguh luar biasa, betapa kecanggihan teknologi medis dan kedokteran bisa menyelamatkan kondisi pasien dalam sekejap. 
“Enya..” sapa Edo penuh rasa kangen. Enya menoleh dan tersenyum.
“Papa mana ma?”
“Masih diperjalanan. Papa janji langsung kemari sepulang dari kantor sayang” sahutku.
“Masih sakit kakinya?” tanya Edo lugu.
Enya mengangguk.
“Polisi udah tau siapa yang nembak Enya , ma?” tanya Enya penuh harap.
Aku menggeleng.
“Sekarang belum. Tapi mama yakin, yang salah pasti akan tertangkap dan harus menebus kesalahannya” aku meyakinkan Enya. Entah darimana munculnya kata-kata bijak itu ke dalam benakku. “Ini mama bawain baju tidur kamu”

Enya menatap pakaian untuknya yang kukabawakan dengan traveling bag.
“Enya boleh pinjam baju tidur mama ngga?” pintanya.
“Baju tidur mama?”
Enya mengangguk.
“Supaya Enya tidurnya nyenyak di rumah sakit. Enya mau bobo pake baju mama supaya kalo kangen bisa langsung nyium bau mama dari baju tidur mama…”

Hatiku terenyuh mendengarnya. Usia Enya memang sudah sebelas tahun, yang menurut statistik sudah masuk kategori abg, alias anak remaja. Sehari-hari, perubahan dalam diri Enya juga sudah kelihatan. Terutama dari segi fisik. Tinggi badan Enya sudah menyamai tinggi badanku. Padahal buat ukuran orang asia, aku termasuk di atas rata-rata dengan tinggi badan 168 centimeter. Tapi mungkin karna gizi dan pola makan yang berbeda, Enya dan Edo tumbuh lebih pesat dibandingkan anak-anak seusianya di tanah air. Apalagi dibandingkan dengan pertumbuhan badanku, generasi tahun 70-an. Tentulah gizi kami sangat berbeda. Di ulang tahunnya yang ke sebelas bulan lalu ukuran pakaian dan sepatu Enya sudah sama denganku. 

Bukan hanya ukurannya saja, secara fisik Enya lebih mirip denganku daripada ayahnya. Aliran darah dan gen Asia mendominasi pertumbuhan Enya. Dibandingkan Edo, Enya nampak lebih Asia. Sementara Edo lebih merupakan kombinasi antara aku dan Evan. Rambut Enya hitam legam dan lurus seperti rambutku dan rambut ibuku, bahkan rambut nenekku. Kulitnya juga kuning kecoklatan, apalagi kalau tertimpa sinar matahari, kulit Enya lebih cepat berubah menjadi gelap dibandingkan adiknya, Edo. Kulit Edo justru akan berubah jadi kemerahan, bukan coklat, kalau dijilat terik matahari. Seperti ayahnya, Evan. Dan rambut Edopun ikal coklat kemerahan, gabungan warna rambutku dan suamiku.

Tak sadar kutatap wajah Enya agak lama. Menatap wajahnya seperti menatap sebuah cermin. Seperti melihat pantulan wajahku sendiri. Enya betul betul seperti foto-copyku. Semakin bertambah usianya, semakin dewasa, semakin ia menyerupaiku. Menatapnya seperti menatap foto masa laluku. Di saat remaja. Disaat usia belum melahap habis energi dalam tubuhku. Di saat tulang tulangku belum keropos oleh waktu. Ditambah lagi gejala arteritis yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.

Lamunanku terputus oleh derit pintu. Kami bertiga serentak menoleh.
“Papa…” 
Tapi yang muncul bukan Evan melainkan ….

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Senin, 13 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 3)

Air mataku mengalir perlahan, merembes dari bola mataku yang terasa hangat. Membayangkan kejadian yang menimpa Enya semalam. Kupejamkan mataku erat erat berusaha menelan rasa bersalah yang kembali muncul. Di saat Enya sangat membutuhkan pertolongan , aku dan Evan malahan tidur nyenyak. Bagaimana mungkin Edo, si kecil, bisa mendengar suara tembakan itu sedangkan kami sama sekali tidak terjaga?

 “Apakah anda menggunakan obat obatan dari dokter, Nyonya Evan?” tanya sang detektif wanita siap mencatat jawabanku dengan balpoin dan buku catatan kecil ditangannya.
 “Maaf… apa pertanyaan anda?” aku balik bertanya. Belum sepenuhnya kembali kealam realita.
 “Semalam, apakah anda menelan obat obatan sebelum tidur?”
 Aku terdiam, lagi-lagi hanya kepalaku yang bisa terayun mengangguk.
 “Sudah enam bulan istri saya mengkonsumsi obat dari dokter, untuk mengatasi nyeri tulang persendiannya” Evan membantuku, menjawab pertanyaan detektif.
 “Obat penahan rasa sakit?” detektif itu mencatat. Sekilas kuliah papan nama di dadanya. Nancy. Itu namanya. Nama yang tak sempat diperkenalkannya pada kami lantaran langsung sibuk memeriksa lokasi kejadian. 

Konon kasus yang tidak bisa terkuak dalam waktu 48 jam, akan selamanya teronggok dan tak terselesaikan di kantor polisi. Karena itu para detektif bekerja keras dan berusaha menyelesaikan sebuah kasus dalam tempo 48 jam untuk mencegah kasus menjadi ‘dingin’ dan terlupakan tanpa penyelesaian.
 “Ya…kira kira begitu. Dokter bilang supaya saya bisa istirahat cukup dan tidur nyenyak” aku menambahkan.
“Istri saya menderita gejala arteritis” tukas Evan lagi.
 “Itu sebabnya anda tidak mendengar suara apapun semalam” ia menyimpulkan, ”Obat-obatan itu tentu membuat anda tidur sangat nyenyak”
 Aku tersentak. Sesaat rasa penyesalan muncul di hatiku. Seandainya aku tidak menelan obat dokter, pasti aku mendengar suara peluru semalam. Bahkan mungkin aku bisa mendengar suara langkah kaki Enya yang kesakitan sehabis tertembak dan menaiki anak tangga. Ya Tuhan.

 “Dan Anda, tuan Evan? “ ia menatap suamiku tajam. “Pertanyaan yang sama”
 Evan menggeleng.
 “Saya tidak minum obat apapun”
 “Mungkin segelas anggur atau bir semalam?” detektif itu memancing atau mencoba menyegarkan ingatan Evan.
 “Semalam kamu pergi ke pesta kantor Van!” aku mengingatkan. “Berapa banyak kamu minum di pesta itu semalam?”

 Evan terdiam. Matanya menatapku. Ada pancaran aneh dalam tatapan matanya saat itu. Seolah ia tak mau aku meneruskan perkataanku. Seolah ia tak mau detektif wanita itu tau mengenai pesta kantornya semalam. Atau…entah apa yang ada dalam benaknya. Yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang aneh dalam caranya memandangku.
 “Tuan Evan?” detektif mendesak.
 “Mh..ya..saya minum beberapa gelas champagne dan bir semalam” Evan menyerah.
 “Kami juga perlu tau, dimana pesta kantor anda semalam dan siapa siapa saja yang hadir.” ia meneruskan. Serentak kening kami berdua berkerut heran.
 “Untuk apa? Pesta itu kan ngga ada hubungannya dengan kejadian di rumah kami?”
 Detektif wanita itu tak menjawab. Mungkin dia tak punya waktu untuk menjelaskan proses cara kerja mereka dalam mengungkap kejadian kriminal pada kami, orang awam. Mungkin juga ia tak punya kesabaran menghadapi pertanyaan pertanyaan amatir kami yang hanya akan memperlambat pekerjaan mereka.
 “Tolong, jawab saja pertanyaan saya. Tugas saya adalah bertanya dan tugas anda adalah menjawab pertanyaan saya, tuan Evan” ujarnya tegas.

 Evan menghela nafas. Ia duduk dikursi menjelaskan segala yang ingin diketahui sang detektif mengenai pesta perusahaannya semalam. Sementara itu, mataku tertuju ke jendela, dan kulihat dua orang polisi mengangkut sebuah kantung plastik hitam menuju mobil polisi. Dari ujung kantong plastik hitam yang nampak seperti kantong sampah itu terjulur sebuah ekor berbulu hitam kecoklatan.
 “Zenon!” teriakku shock. Akupun segera menuju ke pintu untuk keluar memastikan bahwa ekor jenasah hewan dalam kantong plastik hitam itu adalah ekor Zenon. Tapi Evan menahan tanganku. Rupanya dia sudah tau duluan apa yang terjadi pada Zenon.
 “Tenang sayang…” desisnya.
 “A..apa yang terjadi pada…Zenon?” kutatap Evan dan detektif itu bergantian.
 “Nanti saya jelaskan,” Evan mencoba menyembunyikannya dariku. Barangkali ia kuatir aku tidak siap menerima kenyataan pahit itu sekaligus. Kematian Zenon.
 “Sebelum menembak anak Anda, pelaku membungkam anjing penjaga anda terlebih dahulu…” Nancy sang detektif tidak berbasa-basi. Langsung saja diucapkannya fakta tragis itu tanpa pertimbangan emosionil. 

 Sekilas kulihat Evan melirik dongkol ke arah sang detektif. Ia berusaha melindungi aku dari fakta yang menyakitkan sementara sang detektif seenaknya saja nyerocos mebocorkannya padaku.
 Ya Tuhan. Zenon… tewas? Ditembak? Di bunuh? Masyallah. Siapa orangnya yang tega melakukan pembunuhan keji ini di rumah kami? Apa salah Zenon? Apa salah Enya? Apa salah kami? 
86 bulan atau lebih dari 7 tahun sudah kami menetap dirumah ini, di lingkungan ini, dan rasanya tak ada satupun musuh yang kami miliki. Bahkan aku hampir tidak pernah berselisih paham dengan tetangga di sekitar rumah kami. Yang ada hanya persahabatan, undangan undangan untuk barbeque party di musim panas atau makan malam. Yang ada hanya persahabatan. 

Lingkungan rumah tempat tinggal kamipun merupakan lingkungan yang cukup aman. Penghuninya bukan orang sembarangan. Kebanyakan merupakan keluarga profesional. Orang-orang yang cukup berpendidikan. Dan bukannya aku sombong, tetanggaku kebanyakan adalah orang-orang yang cukup terpandang di masyarakat. Dokter, pengacara, guru, bahkan salah satu tetangga kami khabarnya adalah anggota parlemen. Siapa orangnya yang tega membunuh Zenon dan menembak anakku? Siapa?
 “Nyonya Evan…?” suara seorang pria menyadarkan lamunanku. Air mataku menetes lagi menyaksikan jenasah Zenon dimasukkan ke mobil polisi di halaman rumahku. Seorang detektif pria berjas biru tua berdiri disebelahku.
 “Ya?”
 “Kami butuh sidik jari anda” ia menyodorkan sebuah plastik semacam stiker transparan ke arahku. “Silahkan tekan jari anda disini”
 “Apa? Sidik jari saya? Untuk apa? Apa kalian sudah gila? Apa kalian pikir saya yang melakukan semua ini?” jeritku marah dan panik.
 “Tenang Bu,’ detektif wanita menenangkanku “Ini adalah prosedur yang harus kami lakukan. Selama belum ada bukti, maka semua orang yang berada disekitar lokasi kejadian ini adalah tersangka. Termasuk Anda dan suami Anda juga.”
 Detektif pria meraih pergelangan tanganku, setengah memaksa, ditekannya jariku di plastik transparent itu. Lalu giliran Evan, suamiku. “Anda tau dimana Edo anak bungsu anda?” tanyanya.
 “Edo masih kecil baru enam tahun! Untuk apa kalian minta sidik jarinya? Tidak mungkin dia…”
 “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama belum ada bukti semua penghuni rumah ini berpotensi menjadi tersangka,” tukas detektif wanita itu tegas. Di wajahnya mulai terlihat garis-garis ketidak sabaran. “Anda ingin kasus ini terungkap kan? Anda ingin tau siapa pelaku penembakan terhadap anak Anda kan?”

 Aku dan Evan serempak mengangguk.
 “Kalau begitu anda berdua harus percaya pada kami, bekerja sama dan jangan menghambat proses kerja kami.”
 “Edo di kamarnya… di sebelah kiri kamar Enya” ujarku lirih.
 Mereka berdua melangkah meninggalkan ruangan menuju ke kamar Edo. Evan menatap ke jendela. Melamun. Entah apa yang dilamunkannya. Mungkin pikiran dan perasaan yang sama denganku kini berkecamuk juga dalam bathin dan benak Evan. Rasa bersalah, rasa marah dan rasa gundah gulana. Sungguh sebuah perasaan yang sangat menyiksa. Di saat kita tak berdaya melindungi buah hati kita. Disaat orang yang kita cintai disakiti, dilukai. Tak pernah kubayangkan kejadian seperti ini akan menimpa keluarga kami. Terutama Enya…anakku. Kukira kejadian ini hanya ada di novel novel atau film film seri televisi atau bioskop. Kukira Kanada Negara aman. Kukira kami telah memilih lingkungan tempat tinggal yang terjamin dan terbaik. 
(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)


Senin, 06 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 2)

Desis lirihku mendadak sontak berubah jadi teriakan histeris. Kakiku ingin berlari tapi tak kuasa bergerak sama sekali. Hanya mataku yang terbelalak menatap ke atas tempat tidur, dimana Enya terbaring kaku. Sama sekali tak bergerak. Bahkan ketika kuguncang tubuhnya. Selimutnya tersingkap dan apa yang kulihat sungguh diluar dugaanku. Sungguh membuatku terpaku, tak kuasa berbuat apa-apa selain meneriakkan namanya dengan nelangsa.

“Enyaaaaa!!!!!”

***

“Apa yang terjadi?” tanya Evan yang baru tiba di ruang tunggu rumah sakit.

“Aku ngga tau! Mana aku tau! Darimana aja kamu? Kenapa baru muncul sekarang?” teriakku galau. Perasaan panik, takut, marah dan sedih berkecamuk dalam kepala dan dadaku yang terasa sesak. Saking galaunya, sampai sampai aku tak mampu lagi untuk berdiri.

“Apa maksud kamu? Aku langsung ngebut dari kantor setelah mendapat khabar dari kamu! Aku bukan superman yang bisa terbang!” Evan juga emosi. Dalam keadaan seperti ini, memang emosi menjadi lebih dominan ketimbang akal sehat. Tak ada lagi akal sehat saat kelenjar adrenalin memompakan hormon panik tersebut.

“Hu…hu..” suara tangisan Edo menyadarkan kami berdua. Sesaat: hening. Aku dan Evan bertatapan, menyadari luapan emosi yang tak seharusnya terjadi. Emosi tak akan menjelaskan keadaan Enya, ataupun menyelamatkan Enya. Kugenggam tangan Edo erat erat.

“Jangan nangis sayang…”

Edo menatap ayahnya.

“Papa jangan marah sama mama. Mama ngga salah. “ Pembelaannya melulihkan hati Evan. Evan pun meraih kepalaku dan menciumku. Lalu Edo.

“Dokter bilang apa?” tanyanya lembut.

“Dokter masih di dalam, belum ada yang keluar. Belum ada yang menjelaskan apa-apa padaku,” desisku lirih. Bergetar. Suasana pagi hari di kamar Enya kembali muncul dalam kelopak mataku. Enya terbaring di tempat tidur dengan darah membasahi seluruh selimut dan ranjangnya. Bahkan menetes hingga ke karpet kamarnya. Enya tak bergeming, tak bergerak menanggapi panggilanku. Bahkan saat kuguncang tubuhnya, matanya tak juga terbuka. Tak ada reaksi apa-apa.

“Dokter!” Evan terlonjak dari kursi seketika saat melihat seorang pria berpakaian serba putih keluar dari ruangan emergensi. Pria itu membuka kaus tangan plastik yang nampak ternoda, lalu menghapus keringat dari kepalanya yang masih terbungkus topi plastik warna kehijauan. Keningnya berkeringat. Seperti habis melakukan tugas berat yang melelahkan.

“Kenapa anak saya dok? Apa yang terjadi pada Enya?” teriakku panik.

“Tenang bu. Anak ibu selamat. Kami berhasil mengeluarkan peluru dari paha kirinya” ujar dokter.

Peluru? Peluru di kaki kiri Enya? Darimana datangnya peluru itu? Bagaimana caranya peluru bisa hinggap di kaki anakku? Dirumah kami sama sekali tidak ada pistol atau senapan. Aku tak bisa berkata kata. Sungguh tak masuk akal. Bibirku dan bibir Evan sama sama berseru serentak.

“Peluru?”

Dokter mengangguk “Sebaiknya ibu dan bapak melapor pada polisi agar mereka bisa menangani kasus ini”

“Polisi?”

***

Enya terbaring lemah. Di lengan kirinya ada jarum infus yang dihubungkan dengan tabung infus dengan sebuah kabel bening. Cairan putih kekuningan yang entah apa isinya, mengalir dari tabung kedalam tubuh putri sulungku. Wajahnya pucat. Di tangan yang lain ada infus serupa, dengan cairan warna merah.

“Enya kehilangan banyak darah, karena itu kami mentransfusikan darah untuknya” suster menjelaskan sebelum meninggalkan ruangan.

“Enya…” kubelai keningnya. Kulit Enya yang biasanya putih kemerahan kini nampak kuning pucat. Matanya sendu tak lagi berkejora seperti biasanya.

“Apa yang terjadi Sayang?” tanya Evan yang nampaknya telah lebih dulu berhasil mengatasi gejolak adrenalin dalam dirinya. Konon, pria memang lebih handal mengatasi kondisi panik dibandingkan dengan perempuan yang lebih menggunakan emosi daripada logika.

Susah payah Enya membuka bibirnya yang nampak kering.

Ada yang nembak Enya semalam pa…”

“Siapa? Kapan?” pekikku masih dihantui rasa panik dan shock.

“Ngga tau. Semalam Enya ke dapur, haus , mau ambil minum. Tau-tau kaki Enya terasa panas dan sakit. Dokter bilang Enya tertembak.” Jelas Enya.

“Jadi suara letusan semalam itu, suara tembakan?” celetuk Edo lugu.

“Apa? Suara apa Do? Suara apa?” tanyaku semakin bingung. Bagaimana mungkin, kedua anakku mengetahui apa yang terjadi semalam dirumah kami, sementara aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa?

“Suara letusan keras ma. Kaya suara balon meledak!” Edo menjelaskan.

Aku dan Evan hanya bertukar pandang. Bingung. Peluru di kaki Enya. Ledakan tembakan dirumahku semalam. Bagaimana mungkin aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa? Kenapa hanya Enya dan Edo yang mendengar kejadian itu? Rasa bersalah muncul diantara seribu tanda tanya di benakku. Sebagai orang tua seharusnya aku dan Evan melindungi anak anak kami. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kami berdua bukan cuma tak bisa melindungi mereka semalam, kami bahkan tidak tau apa yang terjadi di rumah kami !

***

Dua orang detektif berpakaian preman ditemani tiga anggota kepolisian berseragam lengkap menyusuri seluruh ruangan di lantai dua. Lokasi kejadian penembakan Enya semalam. Sejam sebelumnya mereka sibuk di lantai bawah, di dapur tepatnya. Menurut Enya, ia merasakan tembakan itu saat mengambil minuman di dapur. Dan menurut Enya lagi, ia tak sempat membangunkanku ke kamar lantaran rasa sakit dikakinya tak tertahankan. Di anak tangga, polisi dan detektif menemukan beberapa tetesan darah Enya.

“Aneh…” desisku perlahan.

“Apanya yang aneh?” tanya Evan.

“Pagi itu aku membereskan barang barang yang berserakan di sepanjang anak tangga. Tapi sama sekali tak kulihat noda darah…”

“Hal itu biasa terjadi nyonya Evan,” seorang detektif wanita nyeletuk “Anda pasti baru bangun tidur waktu itu kan?”


Kepalaku mengangguk. Detektif wanita itu nampak tenang, mengoleksi tetesan darah dengan kapas bertangkai khusus. Darah Enya, anakku. Bagi mereka darah itu tak lebih dari barang bukti. Darah sudah menjadi bagian dari hari hari mereka. Mungkin darah bagi para detektif ini tak ubahnya seperti butiran beras bagi ibu-ibu rumah tangga. Mereka nampak sudah begitu terbiasa. Tanpa rasa jijik, ngeri atau emosi lagi mengumpulkan bukti bukti dan menganalisa kejadian penembakan semalam di rumah kami.

“Tak ada tanda tanda penembakan di kamar anak Anda,” wanita berpakaian ketat yang cantik dan modis itu memulai penjelasannya. “Karena itu kami yakin, cerita anak Anda, Enya, benar”

Lalu iapun meneruskan hasil analisanya selama tiga jam di rumah kami. Begitu jelasnya sampai sampai aku bisa membayangkan apa yang terjadi semalam. Seperti membaca sebuah novel, atau menonton sebuah film saja.

Malam itu, Enya terjaga lantaran haus. Ia turun ke bawah, tepatnya ke dapur, untuk mengambil segelas air penghapus dahaga. Saat ia membelakangi jendela dapur, ia mendengar suara gonggongan Zenon, anjing herder kami yang setiap malam bertugas menjaga di sekeliling rumah. Mungkin suara gonggongan Zenon malam itu terasa aneh di telinga Enya. Seperti punya firasat, ia mendekat ke jendela untuk melihat apa yang terjadi pada Zenon. Zenon melolong seperti kesakitan. Namun saat Enya mendekat ke jendela, sebuah tembakan meledak mengenai pahanya. Enya kaget, dan tak menyadari kalau suara itu suara tembakan. Ia berbalik, dan saat itulah ia baru merasakan panas di kakinya yang disebabkan peluru dari tembakan itu. Enya berusaha naik ke atas, menuju ke kamarku untuk memberitahukan aku dan Evan. Tapi saat ia melangkah di tangga, ia semakin merasakan sakit di kakinya yang tertembak. Enya tak mampu meneruskan langkahnya ke kamar kami yang terletak di ujung lantai dua, kira-kira sepuluh meter dari tangga. Karena itu ia langsung ke kamarnya, berebah lantaran tak mampu lagi menahan rasa sakit di kakinya. Kemudian jatuh pingsan.

“Trauma, shock dan juga kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak.” Wanita detektif itu menjelaskan kondisi Enya yang membuatnya pingsan dan tak sempat berteriak minta pertolongan.

((NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

ShareThis