Selasa, 04 Agustus 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 6)

Matahari musim panas tak malu-malu menyinarkan teriknya ke tengah taman kota. Saat mencari parkir di pusat kota, baru kusdadari, betapa lamanya aku tak menyentuh daerah perkotaan ini. Daerah yang disebut “down town” , dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Jalanannya sempit dan kecil dengan arus lalu lintas yang padat. Mirip Jakarta dan kemacetannya. Mencari tempat parkirpun sulit dan kalaupun ada harus membayar cukup mahal. Lima belas dollar minimum untuk lima jam atau kira kira ekuivalen dengan sekitar seratus duapuluh ribu rupiah. 

Sejak gejala arteritis mulai menganggu kerangka tubuhku, aku jarang meluangkan waktu mendatangi pusat kota dimana kantor Evan berada. Aku tak mau menguras persediaan energiku untuk menyetir selama dua jam ke down town Toronto. Lebih dari semua itu, aku enggan mengotori paru-paruku dengan polusi kota besar ini. Bernafaspun rasanya sulit, dada terasa sesak terhimpit oleh bayangan gedung gedung pencakar langit di sekelilingku. Atau mungkin aku sulit bernafas karena pikiran-pikiran dan spekulasi yang memenuhi relung hatiku.

“Bu Evan,” sebuah suara menyapa.
Langkahku terhenti. Rupanya Sofie sudah duluan disana. 
“Eh…hai..” balasku sembari menatapnya. Sofie jauh lebih cantik daripada Sofie yang kukenal beberapa tahun lalu. Waktu telah membuatnya menjadi wanita yang lebih matang. Lebih pandai berdandan. 

“Maaf bu, saya buru buru. Mana titipan dari Pak Evan?” katanya memecah lamunanku.
“Titipan?”
“Ya, ibu bilang ibu ada titipan dari Pak Evan kan?” 
“Mh, sebetulnya tidak ada titipan dari Evan” kuakui kebohonganku. “Saya hanya ingin bicara sama kamu, empat mata. Boleh kan?”

Wajah Sofie berubah muram. Seperti punya firasat. Barangkali dia takut affairnya terungkap. Barangkali dia takut dilabrak istri pacarnya.
“Sofie, saya ingin tau sejauh mana hubunganmu dengan suami saya” 
“Ma…maksud ibu?”
“Saya yakin detektif Nancy sudah bicara sama kamu juga.” Sekuat tenaga aku berusaha menenangkan detak jantungku. Berhadapan dengan wanita yang jauh lebih muda, cantik dan berpotensi ini bukan hal yang gampang. Apalagi membayangkan hubungan intimnya dengan suamiku. Belum lagi kemungkinan dia melukai buah hatiku Enya. Kalau tidak dengan persiapan bathin yang mantap, mungkin sudah kulabrak dia sejak awal. Sudah kutampar pipinya dan kuludahi wajahnya yang sok tak berdosa itu. Kalau perlu ku potong tangannya yang diduga telah menembakkan peluru ke kaki Enya. 

Tapi akal sehatku masih kupelihara. Bahkan sejak tiga hari terakhir kukorbankan penyakit tulang keroposku dengan tidak mengkonsumsi obat dari dokter. Konon obat penahan sakit itu mengandung zat penenang yang bisa mempengaruhi cara berpikirku. Aku ingin menggunakan seluruh kemampuan akal sehatku, logikaku, dengan itikad baikku, untuk menghadapi Sofie. Menghadapi kenyataan sepahit apapun. Untuk mencari keadilan. Bagiku, bagi Enya, bagi keluargaku.

Sofie menunduk. Bahunya perlahan bergetar. Ia menangis. Tersedu.
“Maafkan saya…bu”

Aku tersentak. 
“Jadi semua dugaan detektif Nancy itu betul?”
“Ti..tidak bu. Saya bukan pembunuh. Sa…saya cuma perempuan lemah yang…mengagumi suami ibu. Saya akui, saya salah. Bapak juga sudah bicara sama saya. Semua sudah selesai. Semua sudah berakhir diatara kami bu…”
“Jadi….kamu dan suami saya…?”

Kata kata Sofie, permohonan maaf dan isak tangisnya yang megiba iba tak lagi terdengar ditelinagku. Hanya satu kata yang terus berdengung menyakiti kepalaku , memanasi ubun ubunku dan membakar hatiku. Evan telah mengkhianati cintaku, mengkhianati dan membohongiku, menodai kesucian mahligai rumah tangga kami dengan…perselingkuhan.

Semua yang dikatakan Nancy ternyata benar! Semua kekuatiran dan spekulasi analisa hatiku sekarang terbukti. Firasatku. Kenyataan yang sangat pahit. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri, selain mendengar perselingkuhan suaminya. Tidak ada fakta yang lebih menyayat hati seorang ibu tatkala mendengar ayah dari anak-anaknya telah mendustainya! Hati ini bukan cuma hancur berkeping-keping rasanya. Hati ini terasa terbakar. Meletus bagai gunung berapi. Lahar panas mengalir. Aku sungguh tak bisa lagi menahan diriku. Tak bisa lagi! Dihadapanku berdiri seorang perempuan yang telah memadu cinta dengan suamiku! Perempuan yang telah menodai kesucian pernikahanku! Yang telah merebut cinta suamiku, ayah dari anak-anakku!

Plak…!
“Aah..” Sofie menjerit kaget dan kesakitan sembari memegangi pipinya. Tak terasa, emosi menggerakan tanganku untuk menampar pipinya. Emosi dari alam bawah sadarku.

“Ma…maaf” desisku sambil lari meninggalkannya.
“Bu…! Ibu!!!” teriak Sofie memanggil.
Kututup telingaku dengan kedua belah tanganku. Cukup! Cukup! Aku tak mau mendengar apa—apa lagi. Aku tak mau mendengar suara perempuan yang telah merebut cinta suamiku itu lagi! Cukup!

“Bu…awas bu!!!!” teriakan Sofie menembus telapak tangan yang menutupi telingaku. Dan sebuah benturan super keras menghantamku dari samping kiri. Aku tergeletak. Semua gelap. 
***

Semua menjadi terang lagi, perlahan demi perlahan. Wajah wajah yang kukenal dan kucintai samar samar menjelma dihadapanku. Bertabrakan dengan sinar terang dari lampu sorot di ruangan yang terasa dingin ini. Semua serba putih dan biru muda. Selimut dibadanku biru muda. Dinding ruangan putih bersih. 

“Ira…” suara Evan membuat kepalaku menoleh ke kiri. Sakit terasa. Leherku tak bisa berputar lebih dari seratus delapanpuluh derajat. Ada sesuatu yang menyanggah leherku. Hanya mataku yang masih bisa bergulir, melirik ke arah Evan.

Kepala Evan tertunduk. Hanya matanya yang takut - takut menatap ke arahku. Kupejamkan mataku, berusaha menahan tangisku di depan Edo dan Enya. Enya masih menggunakan tongkat untuk membantunya berdiri dan berjalan. Kakinya masih dibalut gips dan perban. Edo duduk di ujung tepat tidurku, berdekatan dengan kakiku. 

“Ma…” suara Edo bagai malaikat kecil. Betapapun pedih dan sakit yang kurasakan lahir dan bathin, suara itu selalu mampu membuatku tersenyum. Paling tidak untuk melindungi perasaannya. Mereka tak berdosa. Mereka tidak bersalah. Mereka , anak anakku, bahkan tidak tau apa-apa sama sekali.

“I’m sorry…” desis Evan. Pelan. Sangat pelan. Seolah takut kedengaran oleh anak anaknya. Seolah takut dosanya ketahuan dan namanya tercemar di depan buah hatinya.

Aku tak bisa bereaksi. Hatiku nyeri, bibir dan lidahku kelu. Aku bahkan tak lagi berniat menatap Evan. Kalau perlu ingin rasanya kuusir pengkhianat itu keluar. Bertahun - tahun aku hidup dalam kebohongan. Bertahun - tahun kuanggap dia pahlawan kekeluarga. Kuserahkan jiwa dan ragaku untuknya. Kuabdikan seluruh hidupku padanya. Bahkan kutinggalkan tanah airku karena cinta. Karena sumpah perkawinan yang kami ikrarkan bersama - sama dua belas tahun lalu di sebuah pura kecil di Lovina. Sumpah yang sekarang telah dia nodai hanya karena tergoda seketaris muda dan cantik. Karena Sofie. Aku yakin Sofie telah menceritakan semua pada Evan. Begitu mudahnya. Begitu kecil arti sumpah pernikahan itu baginya ternyata. 

Pertemuanku dengan Sofie siang itu telah membuahkan kecelakaan cukup fatal pada diriku. 

Tapi aku tak perduli. Kecelakaan itu tidak seberapa dibandingkan sakit yang kurasakan akibat pengkhianatan Evan. Aku tak perduli pada apapun lagi selain pada anak - anakku. 

“Ma, orang yang nembak Zenon dan Enya udah ditangkep ma!” tukas Enya.
Aku terkejut. “Apa? Kapan? Siapa?”

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis