Senin, 13 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 3)

Air mataku mengalir perlahan, merembes dari bola mataku yang terasa hangat. Membayangkan kejadian yang menimpa Enya semalam. Kupejamkan mataku erat erat berusaha menelan rasa bersalah yang kembali muncul. Di saat Enya sangat membutuhkan pertolongan , aku dan Evan malahan tidur nyenyak. Bagaimana mungkin Edo, si kecil, bisa mendengar suara tembakan itu sedangkan kami sama sekali tidak terjaga?

 “Apakah anda menggunakan obat obatan dari dokter, Nyonya Evan?” tanya sang detektif wanita siap mencatat jawabanku dengan balpoin dan buku catatan kecil ditangannya.
 “Maaf… apa pertanyaan anda?” aku balik bertanya. Belum sepenuhnya kembali kealam realita.
 “Semalam, apakah anda menelan obat obatan sebelum tidur?”
 Aku terdiam, lagi-lagi hanya kepalaku yang bisa terayun mengangguk.
 “Sudah enam bulan istri saya mengkonsumsi obat dari dokter, untuk mengatasi nyeri tulang persendiannya” Evan membantuku, menjawab pertanyaan detektif.
 “Obat penahan rasa sakit?” detektif itu mencatat. Sekilas kuliah papan nama di dadanya. Nancy. Itu namanya. Nama yang tak sempat diperkenalkannya pada kami lantaran langsung sibuk memeriksa lokasi kejadian. 

Konon kasus yang tidak bisa terkuak dalam waktu 48 jam, akan selamanya teronggok dan tak terselesaikan di kantor polisi. Karena itu para detektif bekerja keras dan berusaha menyelesaikan sebuah kasus dalam tempo 48 jam untuk mencegah kasus menjadi ‘dingin’ dan terlupakan tanpa penyelesaian.
 “Ya…kira kira begitu. Dokter bilang supaya saya bisa istirahat cukup dan tidur nyenyak” aku menambahkan.
“Istri saya menderita gejala arteritis” tukas Evan lagi.
 “Itu sebabnya anda tidak mendengar suara apapun semalam” ia menyimpulkan, ”Obat-obatan itu tentu membuat anda tidur sangat nyenyak”
 Aku tersentak. Sesaat rasa penyesalan muncul di hatiku. Seandainya aku tidak menelan obat dokter, pasti aku mendengar suara peluru semalam. Bahkan mungkin aku bisa mendengar suara langkah kaki Enya yang kesakitan sehabis tertembak dan menaiki anak tangga. Ya Tuhan.

 “Dan Anda, tuan Evan? “ ia menatap suamiku tajam. “Pertanyaan yang sama”
 Evan menggeleng.
 “Saya tidak minum obat apapun”
 “Mungkin segelas anggur atau bir semalam?” detektif itu memancing atau mencoba menyegarkan ingatan Evan.
 “Semalam kamu pergi ke pesta kantor Van!” aku mengingatkan. “Berapa banyak kamu minum di pesta itu semalam?”

 Evan terdiam. Matanya menatapku. Ada pancaran aneh dalam tatapan matanya saat itu. Seolah ia tak mau aku meneruskan perkataanku. Seolah ia tak mau detektif wanita itu tau mengenai pesta kantornya semalam. Atau…entah apa yang ada dalam benaknya. Yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang aneh dalam caranya memandangku.
 “Tuan Evan?” detektif mendesak.
 “Mh..ya..saya minum beberapa gelas champagne dan bir semalam” Evan menyerah.
 “Kami juga perlu tau, dimana pesta kantor anda semalam dan siapa siapa saja yang hadir.” ia meneruskan. Serentak kening kami berdua berkerut heran.
 “Untuk apa? Pesta itu kan ngga ada hubungannya dengan kejadian di rumah kami?”
 Detektif wanita itu tak menjawab. Mungkin dia tak punya waktu untuk menjelaskan proses cara kerja mereka dalam mengungkap kejadian kriminal pada kami, orang awam. Mungkin juga ia tak punya kesabaran menghadapi pertanyaan pertanyaan amatir kami yang hanya akan memperlambat pekerjaan mereka.
 “Tolong, jawab saja pertanyaan saya. Tugas saya adalah bertanya dan tugas anda adalah menjawab pertanyaan saya, tuan Evan” ujarnya tegas.

 Evan menghela nafas. Ia duduk dikursi menjelaskan segala yang ingin diketahui sang detektif mengenai pesta perusahaannya semalam. Sementara itu, mataku tertuju ke jendela, dan kulihat dua orang polisi mengangkut sebuah kantung plastik hitam menuju mobil polisi. Dari ujung kantong plastik hitam yang nampak seperti kantong sampah itu terjulur sebuah ekor berbulu hitam kecoklatan.
 “Zenon!” teriakku shock. Akupun segera menuju ke pintu untuk keluar memastikan bahwa ekor jenasah hewan dalam kantong plastik hitam itu adalah ekor Zenon. Tapi Evan menahan tanganku. Rupanya dia sudah tau duluan apa yang terjadi pada Zenon.
 “Tenang sayang…” desisnya.
 “A..apa yang terjadi pada…Zenon?” kutatap Evan dan detektif itu bergantian.
 “Nanti saya jelaskan,” Evan mencoba menyembunyikannya dariku. Barangkali ia kuatir aku tidak siap menerima kenyataan pahit itu sekaligus. Kematian Zenon.
 “Sebelum menembak anak Anda, pelaku membungkam anjing penjaga anda terlebih dahulu…” Nancy sang detektif tidak berbasa-basi. Langsung saja diucapkannya fakta tragis itu tanpa pertimbangan emosionil. 

 Sekilas kulihat Evan melirik dongkol ke arah sang detektif. Ia berusaha melindungi aku dari fakta yang menyakitkan sementara sang detektif seenaknya saja nyerocos mebocorkannya padaku.
 Ya Tuhan. Zenon… tewas? Ditembak? Di bunuh? Masyallah. Siapa orangnya yang tega melakukan pembunuhan keji ini di rumah kami? Apa salah Zenon? Apa salah Enya? Apa salah kami? 
86 bulan atau lebih dari 7 tahun sudah kami menetap dirumah ini, di lingkungan ini, dan rasanya tak ada satupun musuh yang kami miliki. Bahkan aku hampir tidak pernah berselisih paham dengan tetangga di sekitar rumah kami. Yang ada hanya persahabatan, undangan undangan untuk barbeque party di musim panas atau makan malam. Yang ada hanya persahabatan. 

Lingkungan rumah tempat tinggal kamipun merupakan lingkungan yang cukup aman. Penghuninya bukan orang sembarangan. Kebanyakan merupakan keluarga profesional. Orang-orang yang cukup berpendidikan. Dan bukannya aku sombong, tetanggaku kebanyakan adalah orang-orang yang cukup terpandang di masyarakat. Dokter, pengacara, guru, bahkan salah satu tetangga kami khabarnya adalah anggota parlemen. Siapa orangnya yang tega membunuh Zenon dan menembak anakku? Siapa?
 “Nyonya Evan…?” suara seorang pria menyadarkan lamunanku. Air mataku menetes lagi menyaksikan jenasah Zenon dimasukkan ke mobil polisi di halaman rumahku. Seorang detektif pria berjas biru tua berdiri disebelahku.
 “Ya?”
 “Kami butuh sidik jari anda” ia menyodorkan sebuah plastik semacam stiker transparan ke arahku. “Silahkan tekan jari anda disini”
 “Apa? Sidik jari saya? Untuk apa? Apa kalian sudah gila? Apa kalian pikir saya yang melakukan semua ini?” jeritku marah dan panik.
 “Tenang Bu,’ detektif wanita menenangkanku “Ini adalah prosedur yang harus kami lakukan. Selama belum ada bukti, maka semua orang yang berada disekitar lokasi kejadian ini adalah tersangka. Termasuk Anda dan suami Anda juga.”
 Detektif pria meraih pergelangan tanganku, setengah memaksa, ditekannya jariku di plastik transparent itu. Lalu giliran Evan, suamiku. “Anda tau dimana Edo anak bungsu anda?” tanyanya.
 “Edo masih kecil baru enam tahun! Untuk apa kalian minta sidik jarinya? Tidak mungkin dia…”
 “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama belum ada bukti semua penghuni rumah ini berpotensi menjadi tersangka,” tukas detektif wanita itu tegas. Di wajahnya mulai terlihat garis-garis ketidak sabaran. “Anda ingin kasus ini terungkap kan? Anda ingin tau siapa pelaku penembakan terhadap anak Anda kan?”

 Aku dan Evan serempak mengangguk.
 “Kalau begitu anda berdua harus percaya pada kami, bekerja sama dan jangan menghambat proses kerja kami.”
 “Edo di kamarnya… di sebelah kiri kamar Enya” ujarku lirih.
 Mereka berdua melangkah meninggalkan ruangan menuju ke kamar Edo. Evan menatap ke jendela. Melamun. Entah apa yang dilamunkannya. Mungkin pikiran dan perasaan yang sama denganku kini berkecamuk juga dalam bathin dan benak Evan. Rasa bersalah, rasa marah dan rasa gundah gulana. Sungguh sebuah perasaan yang sangat menyiksa. Di saat kita tak berdaya melindungi buah hati kita. Disaat orang yang kita cintai disakiti, dilukai. Tak pernah kubayangkan kejadian seperti ini akan menimpa keluarga kami. Terutama Enya…anakku. Kukira kejadian ini hanya ada di novel novel atau film film seri televisi atau bioskop. Kukira Kanada Negara aman. Kukira kami telah memilih lingkungan tempat tinggal yang terjamin dan terbaik. 
(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis