Selasa, 28 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 5)

Sang detektif wanita yang menangani kasus Enya berdiri di ambang pintu.
“Selamat malam” ia menyapa kami dengan tatapan ramahnya. Lalu ia melangkah memperkenalkan dirinya pada Enya. “Hai Enya, saya Nancy. Bagaimana keadaan kamu?”

“Nancy ini detektif yang menangani kasus kamu, Enya. Dia yang akan menemukan orang yang menembak kamu” aku menjelaskan.

“Hai” Enya membalas sapaan detektif itu dengan senyum.
“Boleh pinjam mamamu sebentar? Saya perlu bicara dengan Anda nyonya Evan,” ujarnya tegas tapi ramah.

Aku mengangguk dan mengikuti Nancy keluar ruangan. 
Di koridor kami berbicara. Wajah Nancy nampak serius tapi tenang. Ia mengeluarkan sebuah foto dari amplop kuning di tangannya. Foto seorang wanita berambut pirang.

“Anda kenal orang ini?” tanyanya.
Keningku berkerut mencoba mengingat ingat. Rasanya aku pernah melihat wajah dalam foto itu. Tapi dimana, kapan dan dalam rangka apa, aku tak ingat sama sekali.

“Dia teman kerja suami Anda di kantor” Nancy berusaha menyegarkan ingatanku.
“Sofie?” desisku ragu.
“Ya. Sofie Blacksmith lengkapnya. Apakah dia pernah datang ke rumah anda?”

Aku menggeleng. Perlahan-lahan ingatanku terbuka, kembali menelusuri masa-masa beberapa tahun kebelakang. Saat itu nyeri arteritis belum terlalu mengusik tulang tulangku. Aku masih aktif, masih rajin menemani Evan ke acara-acara pesta dikantornya. Dan di acara acara pesta perusahaan itulah aku dikenalkan dengan Sofie. Waktu itu ia pegawai baru, menggantikan Ruby, seketaris Evan yang mengundurkan diri setelah menikah.

“Dia seketaris Evan” ujarku.
“Pertanyaan saya, apakah dia pernah datang ke rumah Anda?” ulang Nancy tegas.
“Tidak.”
“Dimana anda terakhir bertemu dengannya?”
“Tidak ingat pastinya. Yang jelas, di acara pesta perusahaan. Entah kapan. Evan mengenalkan dia sebagai seketaris barunya,”

Nancy menghela nafas.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa anda menanyakan soal Sofie pada saya?”
“Kami menemukan sebuah kuku palsu di halaman rumah Anda nyonya Evan”
“Kuku palsu?” aku semakin bingung.

Nancy meraih kedua belah tanganku.
“Anda tak menggunakan kuku palsu. Enya juga tak menggunakan kuku akrilik buatan. Di laboratorium kami melakukan tes DNA untuk mengetahui siapa pemilik kuku palsu ini. Nama Sofie muncul dari data kepolisian. Kami menanyai beberapa rekan kantor suami Anda yang hadir di pesta semalam dan menurut keterangan mereka, Sofie meninggalkan pesta pada waktu yang bersamaan dengan suami Anda.”

Penjelasan Nancy sama sekali tak menjawab kebingunganku. Apa hubungannya semua ini dengan penembakan Enya? Apakah itu berarti Sofie menembak Enya dan Zenon? Kalau betul begitu, apa alasannya? Kenapa? Untuk apa? 

Sepertinya Nancy bisa membaca kebingunganku dari garis-garis kerutan yang muncul di keningku.
“Nyonya Evan, apakah hubungan anda dan suami anda selama ini baik baik saja?” tanyanya.
“Maksud anda?”
“Apakah suami Anda memiliki hubungan khusus dengan….wanita lain?”

Aku tersentak.
“Maksud anda…dengan…Sofie?” hatiku mulai berdetak kencang. Aliran darahku mengalir deras memikirkan kemungkinan Evan berselingkuh. Tidak. Tidak mungkin. Evan pekerja keras. Dia suami dan ayah yang baik. Ia berusaha keras memberikan kehidupan yang layak bagi kami, keluarganya. Banting tulang kerja dari pukul enam pagi sampai malam. Kadang bahkan lembur untuk meloby atasan, melicinkan karirnya. 

Evan muncul di hadapan kami berdua.
“Ira…” sapanya sembari melirik ke arah Nancy.
Nancy menyudahi interviunya. Diberikannya kartu namanya padaku.
“Jika anda ingat sesuatu yang bisa membantu saya, tolong hubungi saya” ia hanya melirik ke arah Evan. “Permisi.”

Nancy melangkah dengan sepatu hak tingginya meninggalkan koridor rumah sakit. Aku termangu menatap kartu namanya. Detektif Crime Scene Investigator Nancy Hawk. Begitu tertulis disana. 
“Ra? Ada apa? Ada informasi baru dari detektif itu?” tanya Evan memecah keheningan.

Perlahan, kepalaku menengadah menatap wajah Evan. Menatap matanya. Membayangkan kemungkinan yang disodorkan oleh detektif Nancy barusan. Perlahan bayangan Sofie muncul di sebelah wajah Evan. Mungkinkan suamiku berselingkuh dengan seketarisnya?
“Ra?” Evan seperti heran melihat caraku menatapnya.
“Masuklah, Enya dan Edo menunggu kamu di dalam” kuajak Evan masuk ke kamar rawat Enya.
***
Seminggu sudah berlalu. Kondisi Enya yang membaik seharusnya membuat bathinku tenang. Tapi nyatanya aku malah semakin gundah. Bukan cuma karena rasa penasaran pada siapa pelaku penembakan sadis itu , melainkan lebih pada Evan. Setiap kali menatap bayangan wajahku di cermin kamar mandi, yang kulihat adalah wajah Sofie. Seketaris Evan. Setiap kali menelan obat-obatan dari dokter, kubayangkan kekecewaan Evan memiliki istri yang ringkih dan penyakitan. Barangkali keadaanku tidak lagi bisa membahagiakannya seperti dulu. Barangkali keadaankulah yang membuatnya melirik perempuan lain. Perempuan yang masih muda, masih penuh semangat dan energi. Perempuan yang punya waktu ke salon, menata rambut dan merawat penampilannya seperti seketarisnya. Seketaris yang selalu nampak rapih, cekatan dan siap kapan saja dibutuhkan oleh Evan.

Dan kalau betul perselingkuhan itu ada, kalau analisa detektif Nancy benar, maka Sofie-lah yang telah menyakiti Enya secara tidak sengaja. Membunuh Zenon untuk mencoba membunuhku, lantaran rasa cemburu dan ingin memiliki Evan. Perselingkuhan itu telah membuatnya serakah dan tak cukup lagi memuaskan hatinya. Ia ingin merenggut Evan dariku, dari keluarganya. Ia ingin memiliki Evan untuk dirinya sendiri. Dan malam itu, sehabis meneguk beberapa minuman beralkohol di pesta, ia tak bisa menguasai perasaannya lagi. Ia mengikuti Evan kerumah, membidikkan pistolnya pada Zenon untuk membungkam anjing penjaga kami itu. Kemudian pengaruh alkohol itu juga yang mungkin membuatnya keliru membidik sasaran. Enya yang memang sangat mirip denganku jadi korban . Padahal yang sesungguhnya ingin dienyahkan oleh Sofie adalah diriku!

Ya Tuhan. Aku merasa bersalah. Kalau betul itu yang terjadi! Tapi yang seharusnya merasa sangat bersalah adalah Evan! Kalau betul perselingkuhan itu ada. Kalau betul…

“Ra, sudah siap?” tukas Evan dari belakang. Di mulutku masih ada sebatang sikat gigi.
Segera ku kumur sisa pasta gigi dari mulutku.
“Kamu ikut jemput Enya dari rumah sakit kan?” tanyanya memastikan.

Diluar dugaannya, aku menggeleng.
“Kamu dan Edo saja. Aku ngga enak badan”
Evan menatapku heran.
“Lebih baik aku dirumah, menyiapkan makan siang buat Enya. Enya pasti udah kangen sama soto ayam buatanku Van.” Dalihku.
“Oke. Kalau gitu aku dan Edo bisa berangkat sekarang.” Evan berlalu. 

Aku menatapnya.
Evan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatapku. Seperti berusaha membaca pikiranku. Mungkin ia juga nerasakan perubahan sikapku seminggu belakangan ini.  
“Kamu ngga apa-apa kan?” tanyanya.
Aku menggeleng.

“Sana pergi! Cepet jemput Enya” ujarku menutupi perasaanku yang sebenarnya. Evan meraih kepalaku, mengecup keningku. Seperti biasa sebelum meninggalkan rumah, ia tak pernah lupa mengecup keningku. Mengucapkan kata kata selamat berpisah “Take care,” begitu selalu pesannya sebelum meninggalkanku.

Tapi sekarang ciuman itu seperti ciuman Judas bagiku. Ciuman seorang pengkhianat. Dan hari ini, aku akan membuktikannya sendiri! Aku tak bisa sabar lagi menanti telepon dari oom Dewo. Aku tak mau lagi menunggu hasil penyelidikan detektif Nancy. Aku mau buktikan sendiri! Aku harus mengakhiri semua tanda tanya yang menyiksa bathinku ini. Aku ingin tau, siapa pelaku penembakan terhadap Enya! Dan yang lebih penting lagi, aku harus tau siapa sebenarnya suami yang selama ini kubanggakan itu…

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Senin, 20 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 4)

“Musibah bisa terjadi dimana saja, kapan saja. Tak seorangpun bisa meramalkan apa yang akan terjadi di hari esok” suara datar Oom Dewo berusaha menenangkanku melalui telepon jarak jauh. Kalau Evan tau aku menelpon Oom Dewo, tentu dia tak akan setuju. Evan tidak percaya pada hal hal spirituil, paranormal dan mistik. Akupun bukan penganut aliran gaib apapun. Tapi tak dapat kusangkal, sebagai orang Timur, pengaruh kekuatan gaib, supernatural masih lekat dalam kehidupanku sehari hari. Setidaknya di masa laluku, ketika aku masih menetap di Indonesia. Suka tidak suka, mistik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Mau tidak mau topik mengenai mistik dan hal gaib setiap hari terdengar di lingkungan masyarakat Indonesia. Bahkan saat ini sudah banyak paranormal yang berani mengiklankan bahkan menjamin praktek mistik gaibnya secara terbuka.

 “Saya ingin tau, siapa pelakunya Oom” bisikku takut takut. Takut kedengaran oleh Evan.
 “Semua perlu waktu. Sabar. Tabah. Dan Tawakal. Jalani dulu semua itu Ra..” sahut Oom Dewo. “Tidak perlu minta tolong Oom. Nanti kamu juga bisa melihat sendiri. Akan diarahkan sama Yang Maha Kuasa untuk melihat kebenarannya.”
 “Tapi…”
 “Sekarang kamu urus dulu anak bungsumu. Suamimu. Yang gundah kan bukan cuma kamu saja Ra. Anak dan suamimu juga sedang gundah sekarang. Tenangkan mereka. Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Ya?” tukas Oom Dewo lagi.
 “Janji ya Oom? Oom tolong saya ya?” pintaku putus asa.
 “Apa pernah Oom mengecewakan kamu dan ingkar janji? Ingat Ra, semua cobaan pasti ada hikmahnya. Sekarang baru ujiannya yang kamu dapatkan. Besok-bseok baru akan kamu syukuri hikmahnya. Sabar…”pesan Oom Dewo sebelum menyudahi percakapan kami.

Oom Dewo adalah mantan tetanggaku. Dulu rumah keluargaku bersebelahan dengan rumah beliau di daerah Lovina. Tapi kemudian beliau pindah ke Denpasar. Oom Dewo diakui sebagai pemuka agama bagi umat Hindu Bali. Pekerjaannya sehari-hari hanya bersemedi, bertapa atau istilah moderennya adalah meditasi. Sering juga ia jadi tempat konsultasi, membantu masyarakat menyelesaikan masalah kehidupannya. Tempat tempat meditasinya selalu unik, konon sesuai dengan instruksi yang di dapatnya melalui mimpi atau istilah Oom Dewo adalah “ilham”. Berapa lama ia harus bermeditasipun tergantung petunjuk dari sinar Maha Suci, begitu Oom Dewo mengistilahkan “Tuhan Yang Maha Kuasa”. Kadang Oom Dewo menghabiskan berbulan-bulan di pura Besakih untuk bersemedi. Tidak makan dan tidak minum selama enam bulan. Bayangkan. Mustahil kata akal sehat dan logika. Aneh tapi nyata. Percaya tidak percaya akhirnya jadi percaya.

Setelah menikah dengan Evan, aku pindah dari Singaraja ke Denpasar. Seolah sudah takdir, akhirnya bertemu oom Dewo lagi. Beliau jugalah yang pernah menyatakan padaku bahwa jodohku akan datang dari seberang lautan. Bermata biru berambut emas. Dan pria itu, muncul, persis seperti ramalan Oom Dewo. Evan bermata biru kehijauan dan berambut pirang – kuning keemasan. Ia bukan orang Indonesia, ia datang dari seberang lautan, dari negeri empat musim di belahan utara Amerika. Percaya tidak percaya akhirnya toh jadi percaya sebab semua yang tidak nyata berubah jadi kenyataan. Terbukti. Bedanya, Oom Dewo tidak menggunakan peralatan canggih mengumpulkan bukti-bukti seperti kedua detektif di rumah kami siang tadi. Oom Dewo hanya bermeditasi minta petunjuk dari Sinar Maha Sucinya. Dan karenanya wajar kalau aku berharap Oom Dewo bisa lebih dulu mengungkap kasus ini.

Persis saat kuletakkan gagang telepon, Evan mendekatiku.
“Ngomong sama siapa barusan?” tanyanya.
“Mh..” antara ragu untuk jujur atau berbohong, aku akhirnya memilih diam.
Evan juga tak meneruskan pertanyaannya.
“Ayo makan dulu, Edo menunggu kamu di ruang makan. Aku harus kembali ke kantor”
“Apa? Balik ke kantor?”
“Ya. Sekarang jam satu, jam kantorku kan baru selesai pukul lima. Aku harus kembali ke kantor”
“Ta…tapi..”

Evan mengecup keningku lalu pergi. Tak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas. Disiplin kerja Evan dan dedikasinya pada perusahaan memang harus dibanggakan. Disiplin boleh saja, tapi hari ini aku lebih membutuhkan dia daripada pekerjaannya. Apa dia tak bisa melapor pada atasannya? Minta waktu untuk menemani anak istrinya dirumah setelah kejadian yang cukup traumatis ini? Apa tidak ada pengecualian? 
“Ma…ayo makan” ajak Edo.
Kuhapus air mataku. Dan dengan susah payah kutarik senyum di bibirku.
“Habis makan, papa bilang kita boleh besuk Enya ke rumah sakit.” Katanya lagi penuh harap.
“Iya sayang. Ayo…”

Aku beranjak menemani Edo ke ruang makan. Berdua kami berusaha menelan potongan pizza bertabur keju yang dipesan Evan melalui telepon untuk makan siang kami. Meski Evan tak punya waktu untuk menemaniku hari ini, paling tidak ia masih ingat untuk memesan makan siang untuk kami. Kata kata Oom Dewo terngiang ditelinagku : “Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Yang gundah kan bukan cuma kamu. Suami dan anakmu juga gundah”

Kubelai kepala Edo. Edo menengadah. Bibir dan sekeliling bibirnya penuh noda saus tomat dari pizza. Segera kubersihkan noda tomat merah itu. Noda itu mengingatkan aku pada darah di kamar Enya. Noda darah yang sampai sekarang masih menodai ranjang, selimut dan karpet di kamar ENya. Ya Tuhan, siapa yang akan membersiihkan semua itu? Mana sanggup aku membersihkan darah anakku dengan tanganku sendiri?
“Jangan cemas mikirin Enya lagi ya? Dokter bilang Enya udah ngga apa-apa”
Edo mengangguk. Sibuk dengan pizzanya.
***

Jam berdentang tujuh kali saat kakiku melangkah memasuki kamar rumah sakit di mana Enya masih harus dirawat selama beberapa hari. Besok menurut dokter, Enya sudah boleh dipindahkan ke kamar biasa. Tabung transfusi darah sudah dicabut dari lengannya. Wajahnyapun tak lagi sepucat tadi pagi. Sungguh luar biasa, betapa kecanggihan teknologi medis dan kedokteran bisa menyelamatkan kondisi pasien dalam sekejap. 
“Enya..” sapa Edo penuh rasa kangen. Enya menoleh dan tersenyum.
“Papa mana ma?”
“Masih diperjalanan. Papa janji langsung kemari sepulang dari kantor sayang” sahutku.
“Masih sakit kakinya?” tanya Edo lugu.
Enya mengangguk.
“Polisi udah tau siapa yang nembak Enya , ma?” tanya Enya penuh harap.
Aku menggeleng.
“Sekarang belum. Tapi mama yakin, yang salah pasti akan tertangkap dan harus menebus kesalahannya” aku meyakinkan Enya. Entah darimana munculnya kata-kata bijak itu ke dalam benakku. “Ini mama bawain baju tidur kamu”

Enya menatap pakaian untuknya yang kukabawakan dengan traveling bag.
“Enya boleh pinjam baju tidur mama ngga?” pintanya.
“Baju tidur mama?”
Enya mengangguk.
“Supaya Enya tidurnya nyenyak di rumah sakit. Enya mau bobo pake baju mama supaya kalo kangen bisa langsung nyium bau mama dari baju tidur mama…”

Hatiku terenyuh mendengarnya. Usia Enya memang sudah sebelas tahun, yang menurut statistik sudah masuk kategori abg, alias anak remaja. Sehari-hari, perubahan dalam diri Enya juga sudah kelihatan. Terutama dari segi fisik. Tinggi badan Enya sudah menyamai tinggi badanku. Padahal buat ukuran orang asia, aku termasuk di atas rata-rata dengan tinggi badan 168 centimeter. Tapi mungkin karna gizi dan pola makan yang berbeda, Enya dan Edo tumbuh lebih pesat dibandingkan anak-anak seusianya di tanah air. Apalagi dibandingkan dengan pertumbuhan badanku, generasi tahun 70-an. Tentulah gizi kami sangat berbeda. Di ulang tahunnya yang ke sebelas bulan lalu ukuran pakaian dan sepatu Enya sudah sama denganku. 

Bukan hanya ukurannya saja, secara fisik Enya lebih mirip denganku daripada ayahnya. Aliran darah dan gen Asia mendominasi pertumbuhan Enya. Dibandingkan Edo, Enya nampak lebih Asia. Sementara Edo lebih merupakan kombinasi antara aku dan Evan. Rambut Enya hitam legam dan lurus seperti rambutku dan rambut ibuku, bahkan rambut nenekku. Kulitnya juga kuning kecoklatan, apalagi kalau tertimpa sinar matahari, kulit Enya lebih cepat berubah menjadi gelap dibandingkan adiknya, Edo. Kulit Edo justru akan berubah jadi kemerahan, bukan coklat, kalau dijilat terik matahari. Seperti ayahnya, Evan. Dan rambut Edopun ikal coklat kemerahan, gabungan warna rambutku dan suamiku.

Tak sadar kutatap wajah Enya agak lama. Menatap wajahnya seperti menatap sebuah cermin. Seperti melihat pantulan wajahku sendiri. Enya betul betul seperti foto-copyku. Semakin bertambah usianya, semakin dewasa, semakin ia menyerupaiku. Menatapnya seperti menatap foto masa laluku. Di saat remaja. Disaat usia belum melahap habis energi dalam tubuhku. Di saat tulang tulangku belum keropos oleh waktu. Ditambah lagi gejala arteritis yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.

Lamunanku terputus oleh derit pintu. Kami bertiga serentak menoleh.
“Papa…” 
Tapi yang muncul bukan Evan melainkan ….

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Senin, 13 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 3)

Air mataku mengalir perlahan, merembes dari bola mataku yang terasa hangat. Membayangkan kejadian yang menimpa Enya semalam. Kupejamkan mataku erat erat berusaha menelan rasa bersalah yang kembali muncul. Di saat Enya sangat membutuhkan pertolongan , aku dan Evan malahan tidur nyenyak. Bagaimana mungkin Edo, si kecil, bisa mendengar suara tembakan itu sedangkan kami sama sekali tidak terjaga?

 “Apakah anda menggunakan obat obatan dari dokter, Nyonya Evan?” tanya sang detektif wanita siap mencatat jawabanku dengan balpoin dan buku catatan kecil ditangannya.
 “Maaf… apa pertanyaan anda?” aku balik bertanya. Belum sepenuhnya kembali kealam realita.
 “Semalam, apakah anda menelan obat obatan sebelum tidur?”
 Aku terdiam, lagi-lagi hanya kepalaku yang bisa terayun mengangguk.
 “Sudah enam bulan istri saya mengkonsumsi obat dari dokter, untuk mengatasi nyeri tulang persendiannya” Evan membantuku, menjawab pertanyaan detektif.
 “Obat penahan rasa sakit?” detektif itu mencatat. Sekilas kuliah papan nama di dadanya. Nancy. Itu namanya. Nama yang tak sempat diperkenalkannya pada kami lantaran langsung sibuk memeriksa lokasi kejadian. 

Konon kasus yang tidak bisa terkuak dalam waktu 48 jam, akan selamanya teronggok dan tak terselesaikan di kantor polisi. Karena itu para detektif bekerja keras dan berusaha menyelesaikan sebuah kasus dalam tempo 48 jam untuk mencegah kasus menjadi ‘dingin’ dan terlupakan tanpa penyelesaian.
 “Ya…kira kira begitu. Dokter bilang supaya saya bisa istirahat cukup dan tidur nyenyak” aku menambahkan.
“Istri saya menderita gejala arteritis” tukas Evan lagi.
 “Itu sebabnya anda tidak mendengar suara apapun semalam” ia menyimpulkan, ”Obat-obatan itu tentu membuat anda tidur sangat nyenyak”
 Aku tersentak. Sesaat rasa penyesalan muncul di hatiku. Seandainya aku tidak menelan obat dokter, pasti aku mendengar suara peluru semalam. Bahkan mungkin aku bisa mendengar suara langkah kaki Enya yang kesakitan sehabis tertembak dan menaiki anak tangga. Ya Tuhan.

 “Dan Anda, tuan Evan? “ ia menatap suamiku tajam. “Pertanyaan yang sama”
 Evan menggeleng.
 “Saya tidak minum obat apapun”
 “Mungkin segelas anggur atau bir semalam?” detektif itu memancing atau mencoba menyegarkan ingatan Evan.
 “Semalam kamu pergi ke pesta kantor Van!” aku mengingatkan. “Berapa banyak kamu minum di pesta itu semalam?”

 Evan terdiam. Matanya menatapku. Ada pancaran aneh dalam tatapan matanya saat itu. Seolah ia tak mau aku meneruskan perkataanku. Seolah ia tak mau detektif wanita itu tau mengenai pesta kantornya semalam. Atau…entah apa yang ada dalam benaknya. Yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang aneh dalam caranya memandangku.
 “Tuan Evan?” detektif mendesak.
 “Mh..ya..saya minum beberapa gelas champagne dan bir semalam” Evan menyerah.
 “Kami juga perlu tau, dimana pesta kantor anda semalam dan siapa siapa saja yang hadir.” ia meneruskan. Serentak kening kami berdua berkerut heran.
 “Untuk apa? Pesta itu kan ngga ada hubungannya dengan kejadian di rumah kami?”
 Detektif wanita itu tak menjawab. Mungkin dia tak punya waktu untuk menjelaskan proses cara kerja mereka dalam mengungkap kejadian kriminal pada kami, orang awam. Mungkin juga ia tak punya kesabaran menghadapi pertanyaan pertanyaan amatir kami yang hanya akan memperlambat pekerjaan mereka.
 “Tolong, jawab saja pertanyaan saya. Tugas saya adalah bertanya dan tugas anda adalah menjawab pertanyaan saya, tuan Evan” ujarnya tegas.

 Evan menghela nafas. Ia duduk dikursi menjelaskan segala yang ingin diketahui sang detektif mengenai pesta perusahaannya semalam. Sementara itu, mataku tertuju ke jendela, dan kulihat dua orang polisi mengangkut sebuah kantung plastik hitam menuju mobil polisi. Dari ujung kantong plastik hitam yang nampak seperti kantong sampah itu terjulur sebuah ekor berbulu hitam kecoklatan.
 “Zenon!” teriakku shock. Akupun segera menuju ke pintu untuk keluar memastikan bahwa ekor jenasah hewan dalam kantong plastik hitam itu adalah ekor Zenon. Tapi Evan menahan tanganku. Rupanya dia sudah tau duluan apa yang terjadi pada Zenon.
 “Tenang sayang…” desisnya.
 “A..apa yang terjadi pada…Zenon?” kutatap Evan dan detektif itu bergantian.
 “Nanti saya jelaskan,” Evan mencoba menyembunyikannya dariku. Barangkali ia kuatir aku tidak siap menerima kenyataan pahit itu sekaligus. Kematian Zenon.
 “Sebelum menembak anak Anda, pelaku membungkam anjing penjaga anda terlebih dahulu…” Nancy sang detektif tidak berbasa-basi. Langsung saja diucapkannya fakta tragis itu tanpa pertimbangan emosionil. 

 Sekilas kulihat Evan melirik dongkol ke arah sang detektif. Ia berusaha melindungi aku dari fakta yang menyakitkan sementara sang detektif seenaknya saja nyerocos mebocorkannya padaku.
 Ya Tuhan. Zenon… tewas? Ditembak? Di bunuh? Masyallah. Siapa orangnya yang tega melakukan pembunuhan keji ini di rumah kami? Apa salah Zenon? Apa salah Enya? Apa salah kami? 
86 bulan atau lebih dari 7 tahun sudah kami menetap dirumah ini, di lingkungan ini, dan rasanya tak ada satupun musuh yang kami miliki. Bahkan aku hampir tidak pernah berselisih paham dengan tetangga di sekitar rumah kami. Yang ada hanya persahabatan, undangan undangan untuk barbeque party di musim panas atau makan malam. Yang ada hanya persahabatan. 

Lingkungan rumah tempat tinggal kamipun merupakan lingkungan yang cukup aman. Penghuninya bukan orang sembarangan. Kebanyakan merupakan keluarga profesional. Orang-orang yang cukup berpendidikan. Dan bukannya aku sombong, tetanggaku kebanyakan adalah orang-orang yang cukup terpandang di masyarakat. Dokter, pengacara, guru, bahkan salah satu tetangga kami khabarnya adalah anggota parlemen. Siapa orangnya yang tega membunuh Zenon dan menembak anakku? Siapa?
 “Nyonya Evan…?” suara seorang pria menyadarkan lamunanku. Air mataku menetes lagi menyaksikan jenasah Zenon dimasukkan ke mobil polisi di halaman rumahku. Seorang detektif pria berjas biru tua berdiri disebelahku.
 “Ya?”
 “Kami butuh sidik jari anda” ia menyodorkan sebuah plastik semacam stiker transparan ke arahku. “Silahkan tekan jari anda disini”
 “Apa? Sidik jari saya? Untuk apa? Apa kalian sudah gila? Apa kalian pikir saya yang melakukan semua ini?” jeritku marah dan panik.
 “Tenang Bu,’ detektif wanita menenangkanku “Ini adalah prosedur yang harus kami lakukan. Selama belum ada bukti, maka semua orang yang berada disekitar lokasi kejadian ini adalah tersangka. Termasuk Anda dan suami Anda juga.”
 Detektif pria meraih pergelangan tanganku, setengah memaksa, ditekannya jariku di plastik transparent itu. Lalu giliran Evan, suamiku. “Anda tau dimana Edo anak bungsu anda?” tanyanya.
 “Edo masih kecil baru enam tahun! Untuk apa kalian minta sidik jarinya? Tidak mungkin dia…”
 “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, selama belum ada bukti semua penghuni rumah ini berpotensi menjadi tersangka,” tukas detektif wanita itu tegas. Di wajahnya mulai terlihat garis-garis ketidak sabaran. “Anda ingin kasus ini terungkap kan? Anda ingin tau siapa pelaku penembakan terhadap anak Anda kan?”

 Aku dan Evan serempak mengangguk.
 “Kalau begitu anda berdua harus percaya pada kami, bekerja sama dan jangan menghambat proses kerja kami.”
 “Edo di kamarnya… di sebelah kiri kamar Enya” ujarku lirih.
 Mereka berdua melangkah meninggalkan ruangan menuju ke kamar Edo. Evan menatap ke jendela. Melamun. Entah apa yang dilamunkannya. Mungkin pikiran dan perasaan yang sama denganku kini berkecamuk juga dalam bathin dan benak Evan. Rasa bersalah, rasa marah dan rasa gundah gulana. Sungguh sebuah perasaan yang sangat menyiksa. Di saat kita tak berdaya melindungi buah hati kita. Disaat orang yang kita cintai disakiti, dilukai. Tak pernah kubayangkan kejadian seperti ini akan menimpa keluarga kami. Terutama Enya…anakku. Kukira kejadian ini hanya ada di novel novel atau film film seri televisi atau bioskop. Kukira Kanada Negara aman. Kukira kami telah memilih lingkungan tempat tinggal yang terjamin dan terbaik. 
(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)


Senin, 06 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 2)

Desis lirihku mendadak sontak berubah jadi teriakan histeris. Kakiku ingin berlari tapi tak kuasa bergerak sama sekali. Hanya mataku yang terbelalak menatap ke atas tempat tidur, dimana Enya terbaring kaku. Sama sekali tak bergerak. Bahkan ketika kuguncang tubuhnya. Selimutnya tersingkap dan apa yang kulihat sungguh diluar dugaanku. Sungguh membuatku terpaku, tak kuasa berbuat apa-apa selain meneriakkan namanya dengan nelangsa.

“Enyaaaaa!!!!!”

***

“Apa yang terjadi?” tanya Evan yang baru tiba di ruang tunggu rumah sakit.

“Aku ngga tau! Mana aku tau! Darimana aja kamu? Kenapa baru muncul sekarang?” teriakku galau. Perasaan panik, takut, marah dan sedih berkecamuk dalam kepala dan dadaku yang terasa sesak. Saking galaunya, sampai sampai aku tak mampu lagi untuk berdiri.

“Apa maksud kamu? Aku langsung ngebut dari kantor setelah mendapat khabar dari kamu! Aku bukan superman yang bisa terbang!” Evan juga emosi. Dalam keadaan seperti ini, memang emosi menjadi lebih dominan ketimbang akal sehat. Tak ada lagi akal sehat saat kelenjar adrenalin memompakan hormon panik tersebut.

“Hu…hu..” suara tangisan Edo menyadarkan kami berdua. Sesaat: hening. Aku dan Evan bertatapan, menyadari luapan emosi yang tak seharusnya terjadi. Emosi tak akan menjelaskan keadaan Enya, ataupun menyelamatkan Enya. Kugenggam tangan Edo erat erat.

“Jangan nangis sayang…”

Edo menatap ayahnya.

“Papa jangan marah sama mama. Mama ngga salah. “ Pembelaannya melulihkan hati Evan. Evan pun meraih kepalaku dan menciumku. Lalu Edo.

“Dokter bilang apa?” tanyanya lembut.

“Dokter masih di dalam, belum ada yang keluar. Belum ada yang menjelaskan apa-apa padaku,” desisku lirih. Bergetar. Suasana pagi hari di kamar Enya kembali muncul dalam kelopak mataku. Enya terbaring di tempat tidur dengan darah membasahi seluruh selimut dan ranjangnya. Bahkan menetes hingga ke karpet kamarnya. Enya tak bergeming, tak bergerak menanggapi panggilanku. Bahkan saat kuguncang tubuhnya, matanya tak juga terbuka. Tak ada reaksi apa-apa.

“Dokter!” Evan terlonjak dari kursi seketika saat melihat seorang pria berpakaian serba putih keluar dari ruangan emergensi. Pria itu membuka kaus tangan plastik yang nampak ternoda, lalu menghapus keringat dari kepalanya yang masih terbungkus topi plastik warna kehijauan. Keningnya berkeringat. Seperti habis melakukan tugas berat yang melelahkan.

“Kenapa anak saya dok? Apa yang terjadi pada Enya?” teriakku panik.

“Tenang bu. Anak ibu selamat. Kami berhasil mengeluarkan peluru dari paha kirinya” ujar dokter.

Peluru? Peluru di kaki kiri Enya? Darimana datangnya peluru itu? Bagaimana caranya peluru bisa hinggap di kaki anakku? Dirumah kami sama sekali tidak ada pistol atau senapan. Aku tak bisa berkata kata. Sungguh tak masuk akal. Bibirku dan bibir Evan sama sama berseru serentak.

“Peluru?”

Dokter mengangguk “Sebaiknya ibu dan bapak melapor pada polisi agar mereka bisa menangani kasus ini”

“Polisi?”

***

Enya terbaring lemah. Di lengan kirinya ada jarum infus yang dihubungkan dengan tabung infus dengan sebuah kabel bening. Cairan putih kekuningan yang entah apa isinya, mengalir dari tabung kedalam tubuh putri sulungku. Wajahnya pucat. Di tangan yang lain ada infus serupa, dengan cairan warna merah.

“Enya kehilangan banyak darah, karena itu kami mentransfusikan darah untuknya” suster menjelaskan sebelum meninggalkan ruangan.

“Enya…” kubelai keningnya. Kulit Enya yang biasanya putih kemerahan kini nampak kuning pucat. Matanya sendu tak lagi berkejora seperti biasanya.

“Apa yang terjadi Sayang?” tanya Evan yang nampaknya telah lebih dulu berhasil mengatasi gejolak adrenalin dalam dirinya. Konon, pria memang lebih handal mengatasi kondisi panik dibandingkan dengan perempuan yang lebih menggunakan emosi daripada logika.

Susah payah Enya membuka bibirnya yang nampak kering.

Ada yang nembak Enya semalam pa…”

“Siapa? Kapan?” pekikku masih dihantui rasa panik dan shock.

“Ngga tau. Semalam Enya ke dapur, haus , mau ambil minum. Tau-tau kaki Enya terasa panas dan sakit. Dokter bilang Enya tertembak.” Jelas Enya.

“Jadi suara letusan semalam itu, suara tembakan?” celetuk Edo lugu.

“Apa? Suara apa Do? Suara apa?” tanyaku semakin bingung. Bagaimana mungkin, kedua anakku mengetahui apa yang terjadi semalam dirumah kami, sementara aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa?

“Suara letusan keras ma. Kaya suara balon meledak!” Edo menjelaskan.

Aku dan Evan hanya bertukar pandang. Bingung. Peluru di kaki Enya. Ledakan tembakan dirumahku semalam. Bagaimana mungkin aku dan Evan sama sekali tak mendengar apa-apa? Kenapa hanya Enya dan Edo yang mendengar kejadian itu? Rasa bersalah muncul diantara seribu tanda tanya di benakku. Sebagai orang tua seharusnya aku dan Evan melindungi anak anak kami. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kami berdua bukan cuma tak bisa melindungi mereka semalam, kami bahkan tidak tau apa yang terjadi di rumah kami !

***

Dua orang detektif berpakaian preman ditemani tiga anggota kepolisian berseragam lengkap menyusuri seluruh ruangan di lantai dua. Lokasi kejadian penembakan Enya semalam. Sejam sebelumnya mereka sibuk di lantai bawah, di dapur tepatnya. Menurut Enya, ia merasakan tembakan itu saat mengambil minuman di dapur. Dan menurut Enya lagi, ia tak sempat membangunkanku ke kamar lantaran rasa sakit dikakinya tak tertahankan. Di anak tangga, polisi dan detektif menemukan beberapa tetesan darah Enya.

“Aneh…” desisku perlahan.

“Apanya yang aneh?” tanya Evan.

“Pagi itu aku membereskan barang barang yang berserakan di sepanjang anak tangga. Tapi sama sekali tak kulihat noda darah…”

“Hal itu biasa terjadi nyonya Evan,” seorang detektif wanita nyeletuk “Anda pasti baru bangun tidur waktu itu kan?”


Kepalaku mengangguk. Detektif wanita itu nampak tenang, mengoleksi tetesan darah dengan kapas bertangkai khusus. Darah Enya, anakku. Bagi mereka darah itu tak lebih dari barang bukti. Darah sudah menjadi bagian dari hari hari mereka. Mungkin darah bagi para detektif ini tak ubahnya seperti butiran beras bagi ibu-ibu rumah tangga. Mereka nampak sudah begitu terbiasa. Tanpa rasa jijik, ngeri atau emosi lagi mengumpulkan bukti bukti dan menganalisa kejadian penembakan semalam di rumah kami.

“Tak ada tanda tanda penembakan di kamar anak Anda,” wanita berpakaian ketat yang cantik dan modis itu memulai penjelasannya. “Karena itu kami yakin, cerita anak Anda, Enya, benar”

Lalu iapun meneruskan hasil analisanya selama tiga jam di rumah kami. Begitu jelasnya sampai sampai aku bisa membayangkan apa yang terjadi semalam. Seperti membaca sebuah novel, atau menonton sebuah film saja.

Malam itu, Enya terjaga lantaran haus. Ia turun ke bawah, tepatnya ke dapur, untuk mengambil segelas air penghapus dahaga. Saat ia membelakangi jendela dapur, ia mendengar suara gonggongan Zenon, anjing herder kami yang setiap malam bertugas menjaga di sekeliling rumah. Mungkin suara gonggongan Zenon malam itu terasa aneh di telinga Enya. Seperti punya firasat, ia mendekat ke jendela untuk melihat apa yang terjadi pada Zenon. Zenon melolong seperti kesakitan. Namun saat Enya mendekat ke jendela, sebuah tembakan meledak mengenai pahanya. Enya kaget, dan tak menyadari kalau suara itu suara tembakan. Ia berbalik, dan saat itulah ia baru merasakan panas di kakinya yang disebabkan peluru dari tembakan itu. Enya berusaha naik ke atas, menuju ke kamarku untuk memberitahukan aku dan Evan. Tapi saat ia melangkah di tangga, ia semakin merasakan sakit di kakinya yang tertembak. Enya tak mampu meneruskan langkahnya ke kamar kami yang terletak di ujung lantai dua, kira-kira sepuluh meter dari tangga. Karena itu ia langsung ke kamarnya, berebah lantaran tak mampu lagi menahan rasa sakit di kakinya. Kemudian jatuh pingsan.

“Trauma, shock dan juga kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak.” Wanita detektif itu menjelaskan kondisi Enya yang membuatnya pingsan dan tak sempat berteriak minta pertolongan.

((NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

ShareThis