Senin, 20 Juli 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 4)

“Musibah bisa terjadi dimana saja, kapan saja. Tak seorangpun bisa meramalkan apa yang akan terjadi di hari esok” suara datar Oom Dewo berusaha menenangkanku melalui telepon jarak jauh. Kalau Evan tau aku menelpon Oom Dewo, tentu dia tak akan setuju. Evan tidak percaya pada hal hal spirituil, paranormal dan mistik. Akupun bukan penganut aliran gaib apapun. Tapi tak dapat kusangkal, sebagai orang Timur, pengaruh kekuatan gaib, supernatural masih lekat dalam kehidupanku sehari hari. Setidaknya di masa laluku, ketika aku masih menetap di Indonesia. Suka tidak suka, mistik sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Mau tidak mau topik mengenai mistik dan hal gaib setiap hari terdengar di lingkungan masyarakat Indonesia. Bahkan saat ini sudah banyak paranormal yang berani mengiklankan bahkan menjamin praktek mistik gaibnya secara terbuka.

 “Saya ingin tau, siapa pelakunya Oom” bisikku takut takut. Takut kedengaran oleh Evan.
 “Semua perlu waktu. Sabar. Tabah. Dan Tawakal. Jalani dulu semua itu Ra..” sahut Oom Dewo. “Tidak perlu minta tolong Oom. Nanti kamu juga bisa melihat sendiri. Akan diarahkan sama Yang Maha Kuasa untuk melihat kebenarannya.”
 “Tapi…”
 “Sekarang kamu urus dulu anak bungsumu. Suamimu. Yang gundah kan bukan cuma kamu saja Ra. Anak dan suamimu juga sedang gundah sekarang. Tenangkan mereka. Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Ya?” tukas Oom Dewo lagi.
 “Janji ya Oom? Oom tolong saya ya?” pintaku putus asa.
 “Apa pernah Oom mengecewakan kamu dan ingkar janji? Ingat Ra, semua cobaan pasti ada hikmahnya. Sekarang baru ujiannya yang kamu dapatkan. Besok-bseok baru akan kamu syukuri hikmahnya. Sabar…”pesan Oom Dewo sebelum menyudahi percakapan kami.

Oom Dewo adalah mantan tetanggaku. Dulu rumah keluargaku bersebelahan dengan rumah beliau di daerah Lovina. Tapi kemudian beliau pindah ke Denpasar. Oom Dewo diakui sebagai pemuka agama bagi umat Hindu Bali. Pekerjaannya sehari-hari hanya bersemedi, bertapa atau istilah moderennya adalah meditasi. Sering juga ia jadi tempat konsultasi, membantu masyarakat menyelesaikan masalah kehidupannya. Tempat tempat meditasinya selalu unik, konon sesuai dengan instruksi yang di dapatnya melalui mimpi atau istilah Oom Dewo adalah “ilham”. Berapa lama ia harus bermeditasipun tergantung petunjuk dari sinar Maha Suci, begitu Oom Dewo mengistilahkan “Tuhan Yang Maha Kuasa”. Kadang Oom Dewo menghabiskan berbulan-bulan di pura Besakih untuk bersemedi. Tidak makan dan tidak minum selama enam bulan. Bayangkan. Mustahil kata akal sehat dan logika. Aneh tapi nyata. Percaya tidak percaya akhirnya jadi percaya.

Setelah menikah dengan Evan, aku pindah dari Singaraja ke Denpasar. Seolah sudah takdir, akhirnya bertemu oom Dewo lagi. Beliau jugalah yang pernah menyatakan padaku bahwa jodohku akan datang dari seberang lautan. Bermata biru berambut emas. Dan pria itu, muncul, persis seperti ramalan Oom Dewo. Evan bermata biru kehijauan dan berambut pirang – kuning keemasan. Ia bukan orang Indonesia, ia datang dari seberang lautan, dari negeri empat musim di belahan utara Amerika. Percaya tidak percaya akhirnya toh jadi percaya sebab semua yang tidak nyata berubah jadi kenyataan. Terbukti. Bedanya, Oom Dewo tidak menggunakan peralatan canggih mengumpulkan bukti-bukti seperti kedua detektif di rumah kami siang tadi. Oom Dewo hanya bermeditasi minta petunjuk dari Sinar Maha Sucinya. Dan karenanya wajar kalau aku berharap Oom Dewo bisa lebih dulu mengungkap kasus ini.

Persis saat kuletakkan gagang telepon, Evan mendekatiku.
“Ngomong sama siapa barusan?” tanyanya.
“Mh..” antara ragu untuk jujur atau berbohong, aku akhirnya memilih diam.
Evan juga tak meneruskan pertanyaannya.
“Ayo makan dulu, Edo menunggu kamu di ruang makan. Aku harus kembali ke kantor”
“Apa? Balik ke kantor?”
“Ya. Sekarang jam satu, jam kantorku kan baru selesai pukul lima. Aku harus kembali ke kantor”
“Ta…tapi..”

Evan mengecup keningku lalu pergi. Tak ada yang bisa kulakukan selain menghela nafas. Disiplin kerja Evan dan dedikasinya pada perusahaan memang harus dibanggakan. Disiplin boleh saja, tapi hari ini aku lebih membutuhkan dia daripada pekerjaannya. Apa dia tak bisa melapor pada atasannya? Minta waktu untuk menemani anak istrinya dirumah setelah kejadian yang cukup traumatis ini? Apa tidak ada pengecualian? 
“Ma…ayo makan” ajak Edo.
Kuhapus air mataku. Dan dengan susah payah kutarik senyum di bibirku.
“Habis makan, papa bilang kita boleh besuk Enya ke rumah sakit.” Katanya lagi penuh harap.
“Iya sayang. Ayo…”

Aku beranjak menemani Edo ke ruang makan. Berdua kami berusaha menelan potongan pizza bertabur keju yang dipesan Evan melalui telepon untuk makan siang kami. Meski Evan tak punya waktu untuk menemaniku hari ini, paling tidak ia masih ingat untuk memesan makan siang untuk kami. Kata kata Oom Dewo terngiang ditelinagku : “Itu tugas kamu sebagai perempuan. Mengayomi keluarga. Yang gundah kan bukan cuma kamu. Suami dan anakmu juga gundah”

Kubelai kepala Edo. Edo menengadah. Bibir dan sekeliling bibirnya penuh noda saus tomat dari pizza. Segera kubersihkan noda tomat merah itu. Noda itu mengingatkan aku pada darah di kamar Enya. Noda darah yang sampai sekarang masih menodai ranjang, selimut dan karpet di kamar ENya. Ya Tuhan, siapa yang akan membersiihkan semua itu? Mana sanggup aku membersihkan darah anakku dengan tanganku sendiri?
“Jangan cemas mikirin Enya lagi ya? Dokter bilang Enya udah ngga apa-apa”
Edo mengangguk. Sibuk dengan pizzanya.
***

Jam berdentang tujuh kali saat kakiku melangkah memasuki kamar rumah sakit di mana Enya masih harus dirawat selama beberapa hari. Besok menurut dokter, Enya sudah boleh dipindahkan ke kamar biasa. Tabung transfusi darah sudah dicabut dari lengannya. Wajahnyapun tak lagi sepucat tadi pagi. Sungguh luar biasa, betapa kecanggihan teknologi medis dan kedokteran bisa menyelamatkan kondisi pasien dalam sekejap. 
“Enya..” sapa Edo penuh rasa kangen. Enya menoleh dan tersenyum.
“Papa mana ma?”
“Masih diperjalanan. Papa janji langsung kemari sepulang dari kantor sayang” sahutku.
“Masih sakit kakinya?” tanya Edo lugu.
Enya mengangguk.
“Polisi udah tau siapa yang nembak Enya , ma?” tanya Enya penuh harap.
Aku menggeleng.
“Sekarang belum. Tapi mama yakin, yang salah pasti akan tertangkap dan harus menebus kesalahannya” aku meyakinkan Enya. Entah darimana munculnya kata-kata bijak itu ke dalam benakku. “Ini mama bawain baju tidur kamu”

Enya menatap pakaian untuknya yang kukabawakan dengan traveling bag.
“Enya boleh pinjam baju tidur mama ngga?” pintanya.
“Baju tidur mama?”
Enya mengangguk.
“Supaya Enya tidurnya nyenyak di rumah sakit. Enya mau bobo pake baju mama supaya kalo kangen bisa langsung nyium bau mama dari baju tidur mama…”

Hatiku terenyuh mendengarnya. Usia Enya memang sudah sebelas tahun, yang menurut statistik sudah masuk kategori abg, alias anak remaja. Sehari-hari, perubahan dalam diri Enya juga sudah kelihatan. Terutama dari segi fisik. Tinggi badan Enya sudah menyamai tinggi badanku. Padahal buat ukuran orang asia, aku termasuk di atas rata-rata dengan tinggi badan 168 centimeter. Tapi mungkin karna gizi dan pola makan yang berbeda, Enya dan Edo tumbuh lebih pesat dibandingkan anak-anak seusianya di tanah air. Apalagi dibandingkan dengan pertumbuhan badanku, generasi tahun 70-an. Tentulah gizi kami sangat berbeda. Di ulang tahunnya yang ke sebelas bulan lalu ukuran pakaian dan sepatu Enya sudah sama denganku. 

Bukan hanya ukurannya saja, secara fisik Enya lebih mirip denganku daripada ayahnya. Aliran darah dan gen Asia mendominasi pertumbuhan Enya. Dibandingkan Edo, Enya nampak lebih Asia. Sementara Edo lebih merupakan kombinasi antara aku dan Evan. Rambut Enya hitam legam dan lurus seperti rambutku dan rambut ibuku, bahkan rambut nenekku. Kulitnya juga kuning kecoklatan, apalagi kalau tertimpa sinar matahari, kulit Enya lebih cepat berubah menjadi gelap dibandingkan adiknya, Edo. Kulit Edo justru akan berubah jadi kemerahan, bukan coklat, kalau dijilat terik matahari. Seperti ayahnya, Evan. Dan rambut Edopun ikal coklat kemerahan, gabungan warna rambutku dan suamiku.

Tak sadar kutatap wajah Enya agak lama. Menatap wajahnya seperti menatap sebuah cermin. Seperti melihat pantulan wajahku sendiri. Enya betul betul seperti foto-copyku. Semakin bertambah usianya, semakin dewasa, semakin ia menyerupaiku. Menatapnya seperti menatap foto masa laluku. Di saat remaja. Disaat usia belum melahap habis energi dalam tubuhku. Di saat tulang tulangku belum keropos oleh waktu. Ditambah lagi gejala arteritis yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.

Lamunanku terputus oleh derit pintu. Kami bertiga serentak menoleh.
“Papa…” 
Tapi yang muncul bukan Evan melainkan ….

(NANTIKAN LANJUTANNYA MINGGU DEPAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis