Senin, 10 Agustus 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 7)

“Semalam. Tante polisi itu nelepon papa. Namanya Made. Ya kan Pa?” Enya berusaha memastikan pada Evan.

“Ma…Made?”
Evan mengangguk. “Made, teman kuliah kamu dari Denpasar itu…”
“Hah?”

Teka teki ini bukannya makin jelas tapi justru semakin tak jelas juntrungannya. Made? Teman kuliahku? Di Kanada? Setahuku dia ada di Indonesia, bekerja disebuah kantor arsitek di Denpasar. Sudah sekian lama aku tak berhubungan langsung lagi dengannya. Kami hanya bertukar email sesekali. Mungkin hanya sebulan sekali. Dalam emailnyapun ia tak banyak bercerita. Sekedar silaturahmi menjaga hubungan baik saja, karena aku menitipkan rumah dan tanahku yang masih tersisa di Bali padanya. Untuk ditengoki dan dirawat. Hanya sebatas itu hubungan kami. 

“Dia kemari untuk menyelesaikan dendamnya pada saya… tapi Sofie menggagalkan usahanya malam itu”

Aku tak bisa lagi berpikir. Semua terlalu rancu dan tak masuk akal. Mulanya Sofie, dituduh sebagai pelaku. Semua jelas dan masuk akal. Kronologi dan motivasi pelakunya sudah jelas. Sofie berselingkuh , cemburu padaku, ingin memiliki Evan kemudian mencoba membunuhku. Dia salah sasaran karena mabuk dan mengenai Enya. Sekarang muncul nama baru, Made. Nama yang sangat kukenal. Ya Tuhan.

“Tolong…sambungkan saya dengan detektif Nancy” desisku lirih pada Evan.
“Saya bisa menjelaskan semuanya…” Evan menawarkan diri. Tapi aku menggeleng.
“Saya ingin bicara langsung sama detektif Nancy. Please…” pintaku tanpa menatap wajahnya. Kemarahanku belum sirna. Dan aku yakin, aku pasti butuh waktu lama untuk menyurutkan gejolak emosi itu dari dalam hatiku. Memadamkan bara api hati yang hangus. Menyingkirkan bayangan kemesraan Evan dan Sofie dari benakku. Sekalipun bukan Sofie yang mencelakakan Enya, bukan berarti aku akan memaafkannya begitu saja. 

Evan menyambungkan telepon dan menyerahkan gagang telepon padaku. Detektif Nancy siap di seberang sana menjawab semua pertanyaanku.
***

Jumat, tanggal 8 bulan 6 pukul 10 malam. Aku tertidur nyenyak setelah menidurkan Edo dan mengucapkan selamat malam pada Enya. Malam itu Enya sempat bertanya kapan Evan akan pulang. Enya kuatir, rencana mereka piknik dan memancing bersama Evan esok pagi akan batal kalau Evan pulang kemalaman. Aku menenangkan Enya. Memastikan kalau Evan sudah dalam perjalanan pulang , karena sepuluh menit lalu Evan baru menelponku.

Sebelum Evan pulang, aku jatuh tertidur. Seperti biasa, lima buah pil yang harus kutenggak setiap malam meninabobokanku dalam sekejap. Obat-obatan itu membantuku tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan gangguan rasa nyeri di persendian tulangku. Dokter bilang aku mengalami gejala arteritis dini alias pengeroposan tulang karena kurang mengkonsumsi Fosfor dan kalsium. Vitamin tak lagi cukup, obat harus diberikan. Tanpa obat, aku tak bisa tidur dan istirahat . Tampa tidur dan istirahat, kondisi tulangku akan semakin buruk.

Apa yang terjadi setelah aku terbang ke alam mimpi, kemudian diceritakan oleh detektif Nancy. Berdasarkan keterangan para saksi. Evan, Sofie dan beberapa kolega Evan yang hadir di acara pesta perusahaan Evan malam itu. Berdasarkan bukti - bukti yang berhasil dikumpulkan tim detektif dan di dukung hasil penelitian canggih di labolatorium kepolisian. 

Di acara pesta perusahaan Evan dan Sofie bertengkar. Sofie terlalu banyak minum, dan setengah mabuk ketika pertengkaran itu terjadi. Tanpa sadar ia mengungkap perselingkuhannya dengan Evan di hadapan tamu - tamu yang notabene adalah kolega kantor Evan. Evan bukan cuma malu tapi juga marah. Seketika itu juga ia menyadari kesalahannya dan memutuskan hubungannya dengan Sofie. Atau paling tidak begitulah kesaksian Evan pada polisi.

Evan pulang. Sofie masih penasaran. Reaksi alkohol dalam aliran darahnya membuatnya tak bisa berpikir sehat lagi. Serta merta ia menyusul Evan. Tak rela hubungannya berakhir dan masih berusaha mendesak Evan untuk menikahinya dan meninggalkan keluarganya. Sofie mengikuti Evan sampai kerumah. 

Sekitar lima belas menit setelah sampai ke rumah, Evan jatuh tertidur. Pulas. Lantaran iapun meneguk cukup banyak minuman keras dipesta. Evan mendengkur seperti biasa. Saat itulah Sofie tiba dirumah kami. Sofie terjatuh bukan hanya karena agak mabuk, tapi lebih karena tersandung jenasah Zenon, anjing keluarga kami, yang sudah terbaring ditanah. Darah segar masih menggenang dan mengalir keluar dari leher Zenon. Sofie shock melihat anjing itu sudah tertembak dan sedang menunggu nafas terakhirnya. Karena terjatuh, kuku palsu Sofie terlepas. Sofie berusaha meninggalkan rumah tetapi terlambat.

Seorang lelaki bertubuh tak seberapa besar yang wajahnya tak bisa dikenali Sofie, menangkapnya. Menodongkan pistol ke kepalanya. Sofie menangis minta ampun dan minta dilepaskan. Tapi lelaki itu kelihatannya tak punya niat untuk melepaskan Sofie. Menurut Sofie, lelaki itu berbicara dengan bahasa yang tidak dimengertinya. Bahasa Indonesia : “ Kamu harus mati juga seperti anjing itu!” 

Saat Sofie pasrah menunggu ajalnya, menerima nasib yang sama seperti Zenon, tiba - tiba lampu dari dapur menyala. Sofie dan lelaki itu sama sama tersentak. Momen singkat itu dimanfaatkan oleh Sofie untuk melarikan diri. Ia mendorong lelaki itu, pistol meletus tanpa terencana, pelurunya melesat menembus jendela dapur dan akhirnya bersarang di paha kiri Enya. 

“Pria itu panik. Sofie berhasil melarikan diri. Pria itu mendekat ke jendela untuk memastikan siapa korbannya. Pria itu lalu melarikan diri.”” Suara Nancy terus mengalir menceritakan kejadian yang sebenarnya di malam naas penuh teka - teki itu. “Pria itu merasa bersalah. Ia bersembunyi di kamar hotelnya selama beberapa hari dan akhirnya memutuskan menyerahkan diri ke polisi. Ia mengaku telah menembak Ira, wanita yang dicintainya. Ia tidak tau kalau sebetulnya yang terkena tembakan peluru nyasar itu adalah Enya, anak ibu”

Nancy menutup ceritanya.
“Si…siapa nama pria itu?” tanyaku getir.
“Made. Warga Negara Indonesia yang masuk ke Kanada dengan visa turis. Menurut pengakuannya, dia masih menyimpan cintanya pada anda. Dia tidak pernah berhenti mencintai Anda. Bertahun tahun ia hidup dalam penderitaan dan kemarahan. Kecemburuan melihat kebahagiaan ibu dan keluarga ibu. Lalu dihabiskannya semua tabungannya untuk menemui ibu dan mencoba mengakhiri hidup suami ibu. Made mengaku berniat membunuh Evan, suami ibu. Tapi tembakannya salah sasaran karena kehadiran Sofie”

“Tidak…tidak mungkin… tidak mungkin!” desisku perlahan dengan segala sisa kekuatan yang masih ada. Made, teman kuliahku dari Denpasar itu mencintaiku? Sejak kapan? Dia tak pernah bilang apa-apa. Tak juga pernah sekalipun menunjukkan sikap khusus padaku untuk menyiratkan isi hatinya. Bahkan dia hadir di resepsi pernikahanku dengan Evan. Dia menyalami aku, menyelamati Evan. Dia juga ikut jadi panitia seksi sibuk, mengurus gedung pesta. Saat kami sekeluarga pindah ke Kanada, Made juga ikut mengantar sampai ke bandara. Aku menitipkan uang untuk mengurus rumah dan tanah yang kami tinggalkan di Bali padanya. Tak pernah sebersitpun tersirat kebencian maupun kecemburuannya pada Evan. Tak sepatah katapun pernah kudengar dari bibirnya menyatakan cinta atau sekedar memberikan perhatian dan pujian mesra padaku. Tak pernah. Sama sekali tak pernah.

Setelah mengucapkan terimakasih pada Nancy, kuserahkan gagang telepon kembali pada Evan. Evan menutupnya.
“Sudah jelas semuanya sekarang kan? Made, temanmu itu pelakunya. Dia yang bersalah!” tukas Evan agak emosi. 

“Made memang bersalah dan pantas dihukum. Tapi dia juga pantas menerima ucapan terimakasihku”
“Apa? Terimakasih? Untuk apa? Berterimakasih pada orang yang mau membunuhku? Orang yang telah mencelakakan Enya?” teriak Evan heran campur marah.
“Saya harus berterimakasih, karena kedatangannya telah membebaskan saya dari kebohongan kamu Van…”

Evan terdiam. Ia tau kesalahannya. Mungkin juga ia sudah menyesalinya. Tapi apa artinya penyesalan kalau nasi sudah terlanjur menjadi bubur? Hanya Tuhan yang tahu, apa saja yang telah dilakukan oleh mereka berdua. Apapun yang sudah terjadi tak penting lagi bagiku. Kesucian rumah tanggaku telah ternoda. Pengabdianku tersia sia. Kepercayaanku pada Evan luluh lantah. Tak ada lagi yang tersisa dalam hati ini, dalam tubuh yang semakin ringkih digerogoti arteritis ini. Tak ada lagi yang tersisa di sini untukku… tiada lagi…



2 komentar:

  1. cinta memang tak lekang oleh waktu, tak terkubur oleh peristiwa.
    SElamat Mbak Zara, terus berkarya.

    BalasHapus
  2. adakah orang yang memonumenkan cintanya, sekaligus juga menghancurkannya karena dendam dan penolakan?

    BalasHapus

ShareThis